Industri berbasis budaya tidak hanya memiliki potensi berdaya saing ekonomi tinggi, tetapi juga mampu menjadi media pembangunan karakter bangsa.
K EKHASAN dan keunikan budaya sebuah negara mampu memberi karakter pembeda dalam menghadapi persaingan global. Jika dikelola dengan baik, karakter khas itu bisa dimanfaatkan untuk menyokong perekonomian negara.
Sebagai salah satu pelaku industri berbasis budaya, PT Mustika Ratu Tbk menunjukkan bukti bahwa unsur lokal mampu menghasilkan keuntungan, seperti usaha spa khas Keraton Jawa.
Saat ini, spa Taman Sari Royal Heritage yang berlokasi di Whistler, Kanada, diakui sebagai salah satu spa terbaik di Amerika Utara dan meraih beberapa penghargaan. Penghargaan tersebut semakin memantapkan kepercayaan diri perusahaan untuk terus menggeluti usaha yang berbasis budaya lokal.
“Kami percaya untuk usaha spa tempat perseroan bergelut, SDM lokal akan lebih diminati karena kami mengkhususkan diri pada spa khas Keraton Jawa. Ini justru menjadi daya jual kami,“ ujar Presiden Direktur PT Mustika Ratu Tbk Putri K Wardani kepada Media Indonesia di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Sektor industri tersebut, sambung dia, tak hanya mampu memberi keuntungan ekonomi. Pemberdayaan budaya sebagai modal ekonomi juga bisa dimanfaatkan untuk membangun dan memantapkan karakter bangsa. Keyakinan itu tak bisa diperjuangkan sendiri, tetapi perlu didukung pula oleh pemerintah.
Bagaimanapun, negara pada akhirnya akan menikmati pula manfaat ekonomi dari kehadiran industri tersebut.
“Ini bagian dari competitive advantage. Dasar pengembangannya sebenarnya sudah ada. Hanya saja, pembinaan pemerintah harus senantiasa dilakukan. Saya merasa pemberian kesempatan dan political will untuk mengangkat apa yang sebenarnya menjadi karakter dan kebanggaan bangsa ini masih kurang,“ imbuhnya.
Putri yang juga Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Industri Tradisional Berbasis Budaya itu pun menaruh kepercayaan besar terhadap pemerintahan baru yang dikomandani Joko Widodo dan Jusuf Kala, terhadap pengembangan industri.
“Kedua sosok itu terbukti pro pada industri berbasis budaya yang l menerapkan pola ekonomi inklusif,“ ucap Putri.
Salah satu bukti ialah dengan a dikeluarkannya Pergub DKI Nomor 49 Tahun 2013 yang membuka kesempatan pemanfaatan, promosi, dan kesempatan menjual produk produk berbasis budaya Indonesia, di tempat-tempat wisata, ritel, dan lain-lain. Dengan begitu, napas budaya Indonesia dapat dicintai masyarakatnya sendiri dan tersedia di mana-mana.
“Hotel dan pusat-pusat perbelanjaan jangan hanya dipenuhi produk-produk impor dan tidak memberikan kesempatan bagi produk-produk berbasis budaya untuk tampil,“ cetusnya.
Dengan rekam jejak tersebut, ia berharap pemerintahan baru memberi kesempatan merek lokal untuk mampu berkembang. Tidak saja di negeri sendiri, tetapi juga di mancanegara.
Itulah makna dari kemerdekaan di bidang ekonomi dan berkepribadian secara sosial budaya yang sesungguhnya. “Saya berharap banyak dan punya kepercayaan bahwa harapan saya insya Allah bisa terealisasi,“ sahutnya.
SDM tepat Putri berpendapat, untuk mewujudkan hal itu, kabinet mendatang harus diisi sumber daya manusia yang tepat. Utamanya terkait dengan posisi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam pengembangan industri tersebut.
“Individu yang mengisi jabatan tersebut semestinya memahami bahwa kelangsungan hidup industri berbasis budaya tak bisa dilepaskan dari pengelolaan pariwisata yang mumpuni, begitu pula sebaliknya,“ sebut Putri.
Sektor pariwisata, terang dia, tak hanya mengenai kecukupan jumlah kamar hotel dan penerbangan di suatu tempat, tetapi juga ditopang kehadiran industri berbasis budaya, seperti kain tradisional, makanan tradisional, perawatan kesehatan dan kecantikan tradisional, seni pertunjukan tradisional, dan kerajinan tangan.
Semakin matang dan aktif industri kreatifnya, semakin lama waktu tinggal wisatawan di tempat tersebut. Tentu saja, infrastruktur yang nyaman juga berperan signifikan.
“Para wisatawan ini harus tahu mau menikmati apa dan melakukan apa di sebuah kota. Semakin banyak yang dapat dikerjakan, dinikmati, serta ditonton, mereka bisa semakin lama tinggal di tempat tersebut dan menyumbangkan pendapatan daerah dan devisa kepada negara,“ jelasnya. Tak berhenti di situ, pemerintah mendatang diharapkan mampu meningkatkan kompetensi dari para pelaku industri berbasis budaya. Hal itu terkait dengan pembukaan akses ekonomi melalui pasar bebas ASEAN.
Ia pun menilai penyiapan standardisasi SDM di bidang industri kreatif sudah sangat mendesak untuk dilakukan mengingat persaingan akan semakin ketat. Sebuah kekhawatiran yang sangat masuk akal dan mendasar terkait dengan pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
“Kemenakertrans harus segera menyusun standardisasi yang mengusung kualifikasi khas kelokalan berdasarkan sektor industri yang akan segera dibuka dengan bekerja sama dengan asosiasi-asosiasi pelaku terkait,“ tukasnya.
Revolusi mental Berbicara pengembangan industri berbasis budaya tak bisa dipisahkan dari pemberdayaan masyarakat Indonesia sendiri. Kecintaan masyarakat atas produk dalam negerinya menjadi bahan bakar penggerak industri.
Faktanya, derasnya serbuan produk asing mampu menggeser preferensi pasar dalam negeri terhadap produkproduk lokalnya.
Terkait dengan hal itu, ia setuju dengan pendapat Jokowi, capres terpilih, untuk mendorong revolusi mental sebagai program prioritas, yang sejalan dengan upaya memaknai kemerdekaan. Konteksnya ialah mendorong masyarakat berani mengedepankan kepentingan nasional dan percaya diri dalam menempatkan posisi di antara pergaulan antarbangsa. Jokowi dinilai menjadi sosok ideal untuk memimpin gerakan moral tersebut.
“Saya sangat berharap bahwa gerakan ini akan mampu mengurangi secara signifikan segala negativitas sosial yang ada selama ini, seperti kekerasan antarmasyarakat, sikap koruptif, dan sebagainya,“ pungkas Putri. (S-25) Media Indonesia, 18 Agustus 2014, halaman 16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar