Penampilannya bergaya tribal Afrika, tapi mimpinya melintas batas perbedaan.
Musikus soul Australia berdarah Manado ini pun berkelana ke berbagai negara untuk membangun jaringan musik global.
SEBUAH kelas musik berlangsung di Festival Musik Tembi 2014, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, 24 Mei lalu. Di antara peserta yang sedang membahas aransemen musik dengan instrumen tradisional Indonesia itu terlihat seorang ibu yang asyik menceritakan ulang bahasan kepada audiens, termasuk putranya yang tidak mengerti bahasa Indonesia.
Ibu penuh dedikasi itu ternyata Alphamama, penyanyi soul asal Australia berdarah Indonesia. Perempuan bernama asli Anita Meiruntu ini memang mengusung musik dan gaya panggung yang bersentuhan etnik. Yang paling jelas ialah lilitan kain ala Afrika di kepalanya.
Gaya itu pula yang terlihat saat ia manggung di Java Soulnation Festival 2013. Selain di Jakarta, Anita yang berkarier sejak 2004 telah tampil dan berkolaborasi dengan seniman berbagai negara.
Namun, kiprahnya menjejak banyak negara, termasuk perjalanan berkesenian keliling dunia yang saat ini dilakoni bersama anggota keluarga, bukan hanya untuk karier dan popularitas sendiri. Ia ingin membuka jalur untuk mengangkat seniman-seniman lain.
Selain itu sesuai dengan nama panggungnya, ia membawa misi untuk membuat para perempuan bangkit dan menggali potensi mereka. Bagaimana penuturan lebih lengkapnya, simak wawancara dengan Media Indonesia melalui surat elektronik dengan Anita yang kini berada di Jepang.
Kenapa pakai nama panggung Alphamama?
Pada awalnya Alphamama itu dari inisial nama saya aja, tapi ternyata nama itu malah mengubah total hidup saya. Nama itu pemicu untuk selalu live my best life. Di dalam dunia yang masih sangat patriarkat, saya ingin mengembalikan kekuatan dan kekuasaan perempuan. Bukannya perempuan lebih baik atau lebih berharga dari lelaki, tapi cuma ingin menginspirasikan perempuan untuk menjadi lebih alpha. Untuk itu, saya mencoba mengangkat talenta para perempuan yang ada di Australia. Kemarin ini saya bentuk sebuah Sejak kapan Anda berkarier dan kenapa memilih genre ini? Saya berkarier di Sydney, Australia, sejak 2004. Pada 2012 album pertama saya, Truth, Trips and Revelations keluar. Genre saya indie RnB karena jelas urban, tapi tidak sesempurna RnB yang kebanyakan. Memang itu yang saya inginkan, sesuatu yang lebih organik dan human.
Dari kecil saya memang tertarik banget sama musik yang berasal dari Afrika. Sekarang saya sudah lebih berani bereksperimen dengan musik lain, tapi entah kenapa, kuping saya lebih senang musik soul saja.
Sudah berapa karya yang Anda buat dan siapa saja yang jadi inspirasi?
Selain lagu, saya juga buat cerpen dan puisi.
Semuanya sudah tidak bisa dihitung karena dari kecil saya sudah berkarya. Tapi, baru 13 lagu yang dirilis di album saya, ditambah dengan produk kolaborasi bersama musikus dan produser lain. Di album itu saya kolaborasi dengan banyak musikus, ada penyanyi Papua Nugini Ngaiire, juga rapper Uganda bernama Kween G. Untuk proyek mendatang, saya ingin lebih banyak berkolaborasi, pastinya dengan musisi Indonesia juga. Soal inspirasi ada banyak, mulai dari Michael Jackson, Madonna, Chaka Khan, Erykah Badu, TLC, Yayoi Kusuma, Josh Goot, dan lainnya, tapi inspirasi terbesar ialah wanita tribal yang indah, gagah, dan penuh percaya diri.
Tampilan Anda sangat nyentrik, apa untuk kenyamanan atau popularitas?
Apa artinya nyaman? Apakah harus menutup setiap bagian kulit walaupun cuaca panas 50 derajat (celsius) atau memakai baju kerja kantor yang sama seperti setiap orang? Saya merasa paling nyaman di saat mengikuti kata hati. Dengan berpenampilan nyentrik, saya enggak merasa bertambah popularitas, tapi saya suka berekspresi. Itu cara saya berko munikasi bahwa saya ialah seniman, perempuan yang sangat nyaman dan bangga dengan badannya, seorang yang bersih, sehat, dan bahagia.
Manggung di Indonesia, apakah jadi awal berkarier di sini?
Sudah bertahun-tahun saya punya keinginan untuk main di Java Soulnation dan saya selalu cari jalan untuk mendapatkan akses. Alasannya karena saya pecinta musik soul dan ingin kembali ke Tanah Air untuk berkarya. Akhirnya ada satu teman yang bisa mengajukan saya ke acara itu bersama band yang beranggotakan lima perempuan gila! Soal berkarier, memang sempat terpikir karena waktu masih remaja semua, orang selalu nanya kenapa saya enggak ke Indonesia jadi artis. Tapi, rasanya saya akan frustrasi kalau hanya berkarier di sini. Kelihatannya tidak ada dukungan sama sekali untuk artis dalam arti seniman, bukan selebritas. Kalaupun berkarier di Indonesia, saya akan lebih mikirin bagaimana caranya mengekspor produk-produk Indonesia keluar. Bukan jadi orang bule yang masuk ke Indonesia untuk merampok.
Apakah bagi Anda, idealisme berarti lebih penting daripada jualan?
Buat saya, sekarang dua-duanya penting. Anda sendiri secara finansial bagaimana? Selama ini saya 100% independen. Artinya, tidak ada sponsor atau perusahaan rekaman yang mendukung. Saya berusaha mengatasi masalah itu dengan berkolaborasi atau menukar (trading) seni. Kemana pun pergi, saya percaya bahwa ada komunitas global yang akan saya temui dan saya memang selalu bertemu. Jujur saja kadang keuangan sulit banget, tapi saya bisa atasi itu dengan berkomunikasi sebanyak mungkin.
Dari semuanya, saya mendapat pelajaran bahwa semua orang ingin berkontribusi dan menolong. Itulah sifat manusia yang menandakan kalau dia dalam kondisi yang sehat secara spiritual. Media Indonesia, 29/06/2014, halaman 16
Musikus soul Australia berdarah Manado ini pun berkelana ke berbagai negara untuk membangun jaringan musik global.
SEBUAH kelas musik berlangsung di Festival Musik Tembi 2014, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, 24 Mei lalu. Di antara peserta yang sedang membahas aransemen musik dengan instrumen tradisional Indonesia itu terlihat seorang ibu yang asyik menceritakan ulang bahasan kepada audiens, termasuk putranya yang tidak mengerti bahasa Indonesia.
Ibu penuh dedikasi itu ternyata Alphamama, penyanyi soul asal Australia berdarah Indonesia. Perempuan bernama asli Anita Meiruntu ini memang mengusung musik dan gaya panggung yang bersentuhan etnik. Yang paling jelas ialah lilitan kain ala Afrika di kepalanya.
Gaya itu pula yang terlihat saat ia manggung di Java Soulnation Festival 2013. Selain di Jakarta, Anita yang berkarier sejak 2004 telah tampil dan berkolaborasi dengan seniman berbagai negara.
Namun, kiprahnya menjejak banyak negara, termasuk perjalanan berkesenian keliling dunia yang saat ini dilakoni bersama anggota keluarga, bukan hanya untuk karier dan popularitas sendiri. Ia ingin membuka jalur untuk mengangkat seniman-seniman lain.
Selain itu sesuai dengan nama panggungnya, ia membawa misi untuk membuat para perempuan bangkit dan menggali potensi mereka. Bagaimana penuturan lebih lengkapnya, simak wawancara dengan Media Indonesia melalui surat elektronik dengan Anita yang kini berada di Jepang.
Kenapa pakai nama panggung Alphamama?
Pada awalnya Alphamama itu dari inisial nama saya aja, tapi ternyata nama itu malah mengubah total hidup saya. Nama itu pemicu untuk selalu live my best life. Di dalam dunia yang masih sangat patriarkat, saya ingin mengembalikan kekuatan dan kekuasaan perempuan. Bukannya perempuan lebih baik atau lebih berharga dari lelaki, tapi cuma ingin menginspirasikan perempuan untuk menjadi lebih alpha. Untuk itu, saya mencoba mengangkat talenta para perempuan yang ada di Australia. Kemarin ini saya bentuk sebuah Sejak kapan Anda berkarier dan kenapa memilih genre ini? Saya berkarier di Sydney, Australia, sejak 2004. Pada 2012 album pertama saya, Truth, Trips and Revelations keluar. Genre saya indie RnB karena jelas urban, tapi tidak sesempurna RnB yang kebanyakan. Memang itu yang saya inginkan, sesuatu yang lebih organik dan human.
Dari kecil saya memang tertarik banget sama musik yang berasal dari Afrika. Sekarang saya sudah lebih berani bereksperimen dengan musik lain, tapi entah kenapa, kuping saya lebih senang musik soul saja.
Sudah berapa karya yang Anda buat dan siapa saja yang jadi inspirasi?
Selain lagu, saya juga buat cerpen dan puisi.
Semuanya sudah tidak bisa dihitung karena dari kecil saya sudah berkarya. Tapi, baru 13 lagu yang dirilis di album saya, ditambah dengan produk kolaborasi bersama musikus dan produser lain. Di album itu saya kolaborasi dengan banyak musikus, ada penyanyi Papua Nugini Ngaiire, juga rapper Uganda bernama Kween G. Untuk proyek mendatang, saya ingin lebih banyak berkolaborasi, pastinya dengan musisi Indonesia juga. Soal inspirasi ada banyak, mulai dari Michael Jackson, Madonna, Chaka Khan, Erykah Badu, TLC, Yayoi Kusuma, Josh Goot, dan lainnya, tapi inspirasi terbesar ialah wanita tribal yang indah, gagah, dan penuh percaya diri.
Tampilan Anda sangat nyentrik, apa untuk kenyamanan atau popularitas?
Apa artinya nyaman? Apakah harus menutup setiap bagian kulit walaupun cuaca panas 50 derajat (celsius) atau memakai baju kerja kantor yang sama seperti setiap orang? Saya merasa paling nyaman di saat mengikuti kata hati. Dengan berpenampilan nyentrik, saya enggak merasa bertambah popularitas, tapi saya suka berekspresi. Itu cara saya berko munikasi bahwa saya ialah seniman, perempuan yang sangat nyaman dan bangga dengan badannya, seorang yang bersih, sehat, dan bahagia.
Manggung di Indonesia, apakah jadi awal berkarier di sini?
Sudah bertahun-tahun saya punya keinginan untuk main di Java Soulnation dan saya selalu cari jalan untuk mendapatkan akses. Alasannya karena saya pecinta musik soul dan ingin kembali ke Tanah Air untuk berkarya. Akhirnya ada satu teman yang bisa mengajukan saya ke acara itu bersama band yang beranggotakan lima perempuan gila! Soal berkarier, memang sempat terpikir karena waktu masih remaja semua, orang selalu nanya kenapa saya enggak ke Indonesia jadi artis. Tapi, rasanya saya akan frustrasi kalau hanya berkarier di sini. Kelihatannya tidak ada dukungan sama sekali untuk artis dalam arti seniman, bukan selebritas. Kalaupun berkarier di Indonesia, saya akan lebih mikirin bagaimana caranya mengekspor produk-produk Indonesia keluar. Bukan jadi orang bule yang masuk ke Indonesia untuk merampok.
Apakah bagi Anda, idealisme berarti lebih penting daripada jualan?
Buat saya, sekarang dua-duanya penting. Anda sendiri secara finansial bagaimana? Selama ini saya 100% independen. Artinya, tidak ada sponsor atau perusahaan rekaman yang mendukung. Saya berusaha mengatasi masalah itu dengan berkolaborasi atau menukar (trading) seni. Kemana pun pergi, saya percaya bahwa ada komunitas global yang akan saya temui dan saya memang selalu bertemu. Jujur saja kadang keuangan sulit banget, tapi saya bisa atasi itu dengan berkomunikasi sebanyak mungkin.
Dari semuanya, saya mendapat pelajaran bahwa semua orang ingin berkontribusi dan menolong. Itulah sifat manusia yang menandakan kalau dia dalam kondisi yang sehat secara spiritual. Media Indonesia, 29/06/2014, halaman 16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar