TANGAN-TANGAN itu terampil menggoreskan kuas bertinta di atas selembar kain katun rayon berwarna putih. Dengan cepat, para pelukis menyisir bagian demi bagian kain. Perlahan pola desain yang dikerjakan mulai terlihat.
Usai dilukis, kain tersebut dijemur, sebelum pada akhirnya masuk pada tahap konveksi (penjahitan). Jika cuaca tidak hujan, lukisan akan kering dalam waktu satu hari. Kini tinggal para penjahit yang bekerja membentuk lembaran kain berseni menjadi perangkat ibadah umat muslim. Hasilnya, paduan seni dan agama dalam selembar kain putih. Teknik colet atau lukis menjadi keunggulan tersendiri yang dimiliki Omah Mukena Colet.
“Pangsa pasar mukena ini sangat besar.
Saya ingin ikut andil memudahkan para muslimah mencari mukena dengan bahan berkualitas, harga terjangkau, dan cantik.
Karena dikerjakan dengan tangan, setiap lukisan dalam mukena tidak ada yang sama persis,“ cerita Mardiyah, 44, yang menggarap usaha Omah Mukena Colet bersama sang kakak sejak 2007.
Meski pangsa pasar mukena di Indonesia sangat besar, penjualan masih bergantung pada momentum. Di bulan Ramadan, omzetnya antara Rp100 juta hingga Rp300 juta. “Kalau hari biasa sekitar 240-400 mukena yang terjual. Kami belum mampu melayani pesanan reseller,“ papar Mardiyah sembari menjelaskan, produksinya dilakukan di Pekalongan, Jawa Tengah, di bawah kontrol sang kakak.
Agar motif mukena bisa terus mengikuti tren, Mardiyah berusaha melakukan berbagai inovasi. Perempuan yang juga karyawan sebuah bank swasta ini mengadaptasi motif yang terinspirasi rainbow cake. Lukisan tetap ditampilkan di atasan mukena, sedangkan potongan kain warna-warni diterapkan untuk bawahan, persis seperti kue pelangi dengan warna bertumpuk.
Ukuran tubuh dan kebiasaan konsumen tak luput dari perhatian Mardiyah. Mereka yang memiliki ukuran tubuh khusus diberi kesempatan menggunakan mukena colet ukuran jumbo. Ukuran anak-anak pun disediakan mulai dari S, M, hingga L.
Tidak hanya mukena berpola atasan dan bawahan saja yang dikerjakan Diyah, ia pun membuat mukena berpola langsung seperti gamis untuk para pelanggan usia lanjut.
Corak kedaerahan Keragaman budaya Indonesia kerap menginspirasi lahirnya mukena-mukena yang kini menjadi tren. Di antaranya mukena Bali yang mengusung motif bunga kamboja. Banyak pula desainer yang mengaplikasikan kain daerah seperti tenun ke dalam mukena. Semua kreasi itu menjadi buruan, terutama di bulan Ramadan.
Leonard Fanuel, pemilik industri tekstil rumahan di Bandung, Jawa Barat, mengatakan pihaknya menyediakan kain dengan corak kedaerahan untuk meramaikan pasar mukena.
Berbagai motif mukena hingga sarung ia produksi bersama belasan pekerja. Coraknya bervariasi, ada cumi khas Kalimantan, bunga khas Bengkulu hingga Sumatra, dan lain-lain. Kendati demikian, Leonard tidak memasukkan semua corak dan motif kedaerahan. Ia lebih condong pada nuansa alam berupa flora dan fauna sehingga lebih naturalis. Mukena bermotif tenunan dinilai menjadi lebih unik dan menarik. “Permintaan pun cukup tinggi, terutama untuk masyarakat di Pontianak, Medan, dan Jakarta,“ pungkasnya. (Wnd/Iwa/M-7) Media Indonesia, 13 Juli 2014, Halaman 5
Usai dilukis, kain tersebut dijemur, sebelum pada akhirnya masuk pada tahap konveksi (penjahitan). Jika cuaca tidak hujan, lukisan akan kering dalam waktu satu hari. Kini tinggal para penjahit yang bekerja membentuk lembaran kain berseni menjadi perangkat ibadah umat muslim. Hasilnya, paduan seni dan agama dalam selembar kain putih. Teknik colet atau lukis menjadi keunggulan tersendiri yang dimiliki Omah Mukena Colet.
“Pangsa pasar mukena ini sangat besar.
Saya ingin ikut andil memudahkan para muslimah mencari mukena dengan bahan berkualitas, harga terjangkau, dan cantik.
Karena dikerjakan dengan tangan, setiap lukisan dalam mukena tidak ada yang sama persis,“ cerita Mardiyah, 44, yang menggarap usaha Omah Mukena Colet bersama sang kakak sejak 2007.
Meski pangsa pasar mukena di Indonesia sangat besar, penjualan masih bergantung pada momentum. Di bulan Ramadan, omzetnya antara Rp100 juta hingga Rp300 juta. “Kalau hari biasa sekitar 240-400 mukena yang terjual. Kami belum mampu melayani pesanan reseller,“ papar Mardiyah sembari menjelaskan, produksinya dilakukan di Pekalongan, Jawa Tengah, di bawah kontrol sang kakak.
Agar motif mukena bisa terus mengikuti tren, Mardiyah berusaha melakukan berbagai inovasi. Perempuan yang juga karyawan sebuah bank swasta ini mengadaptasi motif yang terinspirasi rainbow cake. Lukisan tetap ditampilkan di atasan mukena, sedangkan potongan kain warna-warni diterapkan untuk bawahan, persis seperti kue pelangi dengan warna bertumpuk.
Ukuran tubuh dan kebiasaan konsumen tak luput dari perhatian Mardiyah. Mereka yang memiliki ukuran tubuh khusus diberi kesempatan menggunakan mukena colet ukuran jumbo. Ukuran anak-anak pun disediakan mulai dari S, M, hingga L.
Tidak hanya mukena berpola atasan dan bawahan saja yang dikerjakan Diyah, ia pun membuat mukena berpola langsung seperti gamis untuk para pelanggan usia lanjut.
Corak kedaerahan Keragaman budaya Indonesia kerap menginspirasi lahirnya mukena-mukena yang kini menjadi tren. Di antaranya mukena Bali yang mengusung motif bunga kamboja. Banyak pula desainer yang mengaplikasikan kain daerah seperti tenun ke dalam mukena. Semua kreasi itu menjadi buruan, terutama di bulan Ramadan.
Leonard Fanuel, pemilik industri tekstil rumahan di Bandung, Jawa Barat, mengatakan pihaknya menyediakan kain dengan corak kedaerahan untuk meramaikan pasar mukena.
Berbagai motif mukena hingga sarung ia produksi bersama belasan pekerja. Coraknya bervariasi, ada cumi khas Kalimantan, bunga khas Bengkulu hingga Sumatra, dan lain-lain. Kendati demikian, Leonard tidak memasukkan semua corak dan motif kedaerahan. Ia lebih condong pada nuansa alam berupa flora dan fauna sehingga lebih naturalis. Mukena bermotif tenunan dinilai menjadi lebih unik dan menarik. “Permintaan pun cukup tinggi, terutama untuk masyarakat di Pontianak, Medan, dan Jakarta,“ pungkasnya. (Wnd/Iwa/M-7) Media Indonesia, 13 Juli 2014, Halaman 5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar