UPAYA mempercepat kelahiran kadang perlu dilakukan demi mencegah komplikasi yang bisa membahayakan ibu ataupun janin. Upaya itu dilakukan lewat induksi persalinan. Langkah tersebut tidak boleh dilakukan sembarangan, apalagi disalahgunakan untuk aborsi ilegal. Salah-salah, nyawa ibu jadi taruhannya.
“Induksi persalinan merupakan tindakan terhadap ibu hamil untuk merangsang timbulnya kontraksi rahim agar terjadi persalinan,” ujar dokter spesialis kandungan dan kebidanan, Ardiansjah Dara Sjahruddin, dalam program edukasi kesehatan Soho #BetterU yang diselenggarakan perusahaan farmasi Soho Global Health di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Dokter yang akrab disapa Dara itu menjelaskan induksi persalinan dilakukan bila risiko melanjutkan kehamilan lebih besar daripada risiko mengakhiri kehamilan. Misalnya pada kasus preeklampsia yang ditandai dengan meningkatnya tekanan darah ibu hamil.
“Bila kehamilan diteruskan, nyawa ibu terancam.” Induksi juga perlu dilakukan ketika proses persalinan berjalan begitu lama dan menyita tenaga ibu, atau ketika usia kehamilan sudah melewati batas waktu kelahiran sementara air ketuban sudah mulai berkurang.
Menurut Dara, induksi persalinan dilakukan melalui beberapa cara, antara lain, memecah kulit ketuban dari bagian bawah rahim, merangsang puting susu, stimulasi listrik, hubungan seksual dengan pasangan, dan pemberian zat oksitosin sintetis lewat infus ke pembuluh darah ibu.
“Normalnya, menjelang kelahiran tubuh ibu akan memproduksi oksitosin.
Oksitosin itu akan merangsang rahim untuk berkontraksi dan mulut rahim melunak sehingga janin bisa lahir,” jelas Dara.
Ibu yang kekurangan oksitosin tidak akan mengalami kontraksi yang memadai untuk memungkinkan bayi lahir.
Pada kasus itu, oksitosin sintesis perlu diberikan. “Keberhasilan induksi persalinan dengan oksitosin 63%-93%,” kata dokter yang berpraktik di MRCC Siloam Semanggi itu.
Yang harus diperhatikan, lanjutnya, induksi persalinan harus dilakukan dalam pengawasan dokter karena langkah itu bukan tanpa risiko. Pemberian oksitosin, misalnya, bisa mengakibatkan kontraksi rahim yang terlalu kencang dan terlalu sering.
“Padahal, setiap kali rahim kontraksi, aliran darah ke janin terhenti. Janin bisa kekurangan oksigen.”
Kontraksi rahim yang berlebihan juga bisa membahayakan ibu karena bisa mengakibatkan robeknya rahim.
“Terutama bagi ibu-ibu yang sudah terlalu sering melahirkan sehingga elastisitas rahimnya berkurang, atau pada ibu yang rahimnya pernah dibedah,” papar Dara.
Karena itu, pemberian oksitosin harus dikontrol dengan baik. Penggunaan alat CTG kerap diperlukan untuk memonitor
kekuatan rahim ibu dan denyut jantung janin.
Pemantauan terhadap perkembangan persalinan juga penting untuk memastikan oksitosin memberi efek seperti yang diinginkan, sebab ada kalanya ibu tidak kunjung kontraksi karena reseptor penerima oksitosin dalam tubuhnya terganggu. “Pada kasus demikian, kelahiran perlu dilakukan dengan operasi caesar.” (*/H-3) - Media Indonesia, 07/06/2014, Halaman 25
“Induksi persalinan merupakan tindakan terhadap ibu hamil untuk merangsang timbulnya kontraksi rahim agar terjadi persalinan,” ujar dokter spesialis kandungan dan kebidanan, Ardiansjah Dara Sjahruddin, dalam program edukasi kesehatan Soho #BetterU yang diselenggarakan perusahaan farmasi Soho Global Health di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Dokter yang akrab disapa Dara itu menjelaskan induksi persalinan dilakukan bila risiko melanjutkan kehamilan lebih besar daripada risiko mengakhiri kehamilan. Misalnya pada kasus preeklampsia yang ditandai dengan meningkatnya tekanan darah ibu hamil.
“Bila kehamilan diteruskan, nyawa ibu terancam.” Induksi juga perlu dilakukan ketika proses persalinan berjalan begitu lama dan menyita tenaga ibu, atau ketika usia kehamilan sudah melewati batas waktu kelahiran sementara air ketuban sudah mulai berkurang.
Menurut Dara, induksi persalinan dilakukan melalui beberapa cara, antara lain, memecah kulit ketuban dari bagian bawah rahim, merangsang puting susu, stimulasi listrik, hubungan seksual dengan pasangan, dan pemberian zat oksitosin sintetis lewat infus ke pembuluh darah ibu.
“Normalnya, menjelang kelahiran tubuh ibu akan memproduksi oksitosin.
Oksitosin itu akan merangsang rahim untuk berkontraksi dan mulut rahim melunak sehingga janin bisa lahir,” jelas Dara.
Ibu yang kekurangan oksitosin tidak akan mengalami kontraksi yang memadai untuk memungkinkan bayi lahir.
Pada kasus itu, oksitosin sintesis perlu diberikan. “Keberhasilan induksi persalinan dengan oksitosin 63%-93%,” kata dokter yang berpraktik di MRCC Siloam Semanggi itu.
Yang harus diperhatikan, lanjutnya, induksi persalinan harus dilakukan dalam pengawasan dokter karena langkah itu bukan tanpa risiko. Pemberian oksitosin, misalnya, bisa mengakibatkan kontraksi rahim yang terlalu kencang dan terlalu sering.
“Padahal, setiap kali rahim kontraksi, aliran darah ke janin terhenti. Janin bisa kekurangan oksigen.”
Kontraksi rahim yang berlebihan juga bisa membahayakan ibu karena bisa mengakibatkan robeknya rahim.
“Terutama bagi ibu-ibu yang sudah terlalu sering melahirkan sehingga elastisitas rahimnya berkurang, atau pada ibu yang rahimnya pernah dibedah,” papar Dara.
Karena itu, pemberian oksitosin harus dikontrol dengan baik. Penggunaan alat CTG kerap diperlukan untuk memonitor
kekuatan rahim ibu dan denyut jantung janin.
Pemantauan terhadap perkembangan persalinan juga penting untuk memastikan oksitosin memberi efek seperti yang diinginkan, sebab ada kalanya ibu tidak kunjung kontraksi karena reseptor penerima oksitosin dalam tubuhnya terganggu. “Pada kasus demikian, kelahiran perlu dilakukan dengan operasi caesar.” (*/H-3) - Media Indonesia, 07/06/2014, Halaman 25
Tidak ada komentar:
Posting Komentar