Di trimester akhir kehamilan, beragam gangguan yang mengancam nyawa ibu bisa terjadi. Kontrol rutin dan kecukupan gizi diperlukan untuk menekan risiko tersebut.
DUA hari lalu Dewi, 37, ke m b a l i d a r i r u m a h sakit setelah menjalani perawatan selama lima hari. Ia baru saja menjalani bedah caesar untuk melahirkan janin yang baru enam bulan lewat dikandungnya. Kelahiran awal itu terpaksa dilakukan karena kondisi kehamilannya tidak bagus. Ia mengalami preeklampsia.
“Awalnya saya pusing-pusing dan mual-mual. Saya heran kok mual-mual lagi, padahal hamil sudah hampir tujuh bulan. Akhirnya saya periksa ke dokter,” tutur Dewi mengisahkan pengalamannya.
Saat diperiksa, tekanan darah Dewi mencapai 150 mm/Hg, lebih tinggi daripada kondisi normal yang berkisar 120 mm/Hg. Dokter yang curiga segera merekomendasikan Dewi menjalani sejumlah pemeriksaan lanjutan. Termasuk pemeriksaan darah dan urine.
“Berdasarkan pemeriksaan itu, dokter menyatakan saya terkena preeklampsia. Beberapa parameter pemeriksaan menunjukkan jantung dan paru saya sudah terganggu akibat preeklampsia itu. Janin harus dikeluarkan. Kalau dibiarkan, kondisi saya dan janin bisa bertambah gawat,” papar ibu rumah tangga itu.
Meski berat, Dewi mengikuti saran dokter. Janin yang sedianya bakal menjadi anak ketiganya itu
dilahirkan melalui operasi caesar.
Sayang, karena usianya yang terlalu muda, janin tersebut tidak bisa bertahan. “Meski sangat kehilangan, saya tetap bersyukur masih bisa selamat,” kata Dewi.
Apa yang dialami Dewi, preeklampsia, merupakan salah satu gangguan yang patut diwaspadai ibu hamil di penghujung kehamilan.
Gangguan tersebut tergolong sebagai faktor penyebab kematian ibu di bulan-bulan terakhir kehamilan.
“Kehamilan pada periode trimester ketiga (usia kandungan 7-9 bulan) merupakan periode penting sekaligus rawan. Pada trimester ketiga inilah terkadang muncul risiko kematian ibu karena beberapa hal, di antaranya preeklampsia, perdarahan, dan infeksi,” papar dokter spesialis obstetri dan ginekologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Dwiana Ocviyanti, pada diskusi kesehatan Nutritalk yang diselenggarakan Sarihusada, di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Preeklampsia, lanjut Dwiana, merupakan komplikasi pada kehamilan trimester tiga berupa tekanan darah tinggi dan kerusakan pada pembuluh darah yang ditandai dengan adanya protein pada urine serta pembengkakan di lengan, kaki, dan wajah. Sejauh ini belum diketahui penyebab pasti preeklampsia.
Selain preeklampsia, ancaman lain yang perlu diwaspadai ibu di trimester ketiga kehamilan yakni perdarahan. Penyebab utama per
darahan itu ialah solutio placenta dan placenta praevia. Solutio placenta merupakan kondisi lepasnya plasenta (ari-ari) dari dinding rahim akibat trauma. Misalnya, terbentur atau terjatuh. Adapun placenta praevia merupakan kondisi plasenta yang posisinya menutup jalan lahir.
Jenis perdarahan lain yang juga kerap mengancam nyawa seorang ibu yakni perdarahan pascamelahirkan.
“Sudah pernah dihitung, saat ibu melahirkan mengalami perdarahan, volume darah yang keluar bisa mencapai 500 cc dalam satu menit.
Sementara itu, di tubuh kita hanya ada sekitar 5 liter darah. Jadi, perdarahan 10 menit saja bisa menghabiskan darah ibu dan menyebabkan kematian,” ujar Dwiana.
Mengingat rawannya masa kehamilan trimester ketiga, lanjut Dwiana, setiap ibu hamil wajib memeriksakan kandungannya secara rutin. Tujuannya ialah untuk mengantisipasi berbagai ancaman yang mungkin timbul.
“Contohnya placenta praevia.
Kejadiannya memang tidak dapat dicegah, tapi bisa diketahui lebih awal lewat pemeriksaan USG. Ibu yang diketahui mengalami placenta praevia tidak bisa melahirkan normal, jadi harus siap-siap menjalani operasi caesar,” kata dokter yang berpraktik di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) itu.
Pun demikian dengan preeklamp
sia, kejadiannya tidak bisa dicegah karena hingga kini penyebab pastinya belum diketahui. Namun dengan kontrol rutin, naiknya tekanan darah ibu yang menjadi penanda preeklampsia bisa dideteksi. Selain memeriksakan kandungan secara rutin, hal lain yang wajib dilakukan ibu hamil ialah mencukupi kebutuhan gizi. Kecukupan gizi tidak hanya diperlukan untuk mendukung pertumbuhan janin, tetapi juga untuk menekan risiko gangguan kehamilan.
“Preeklampsia, misalnya. Meski penyebab pastinya belum diketahui, faktor risikonya dapat diturunkan dengan menghindari obesitas pada
kehamilan serta menjalankan pola makan ibu hamil gizi seimbang dan mencukupi kebutuhan mikronutrisi, khususnya vitamin A, C, dan E,” jelas Dwiana.
Perdarahan saat melahirkan yang sangat berbahaya bagi ibu juga bisa dicegah dengan mencukupi gizi.
Dwiana menjelaskan salah satu penyebab perdarahan saat melahirkan yakni anemia. Anemia pada ibu hamil yang ditandai dengan kadar hemoglobin darah kurang dari 11 gr/dl terjadi karena ibu kekurangan zat besi dan faktor gizi pembentuk hemoglobin lainnya seperti protein, vitamin C, dan asam folat. “Jadi, dengan mencukupi gizi, anemia bisa dicegah. Risiko perdarahan saat melahirkan juga bisa ditekan.”
Pada kesempatan sama, dokter spesialis gizi klinik dari FKUI/RSCM Widjaja Lukito mengungkapkan ibu hamil dapat memenuhi kebutuhan gizi dengan cara mengonsumsi makanan yang bervariasi, mencakup sumber karbohidrat, protein, lemak, serta, vitamin, dan mineral.
“Ibu hamil juga memerlukan tambahan asupan kalori harian 300 kalori lebih besar daripada biasanya.
Asupan itu setara dengan dua gelas susu,“ ujar Widjaja.
Ia menambahkan, kecukupan gizi ibu hamil bisa dilihat dari kenaikan berat badan. Selama kehamilan, berat badan idealnya bertambah 12-15 kg. (*/H-1/ Media Indonesia, 19/02/2014)
DUA hari lalu Dewi, 37, ke m b a l i d a r i r u m a h sakit setelah menjalani perawatan selama lima hari. Ia baru saja menjalani bedah caesar untuk melahirkan janin yang baru enam bulan lewat dikandungnya. Kelahiran awal itu terpaksa dilakukan karena kondisi kehamilannya tidak bagus. Ia mengalami preeklampsia.
“Awalnya saya pusing-pusing dan mual-mual. Saya heran kok mual-mual lagi, padahal hamil sudah hampir tujuh bulan. Akhirnya saya periksa ke dokter,” tutur Dewi mengisahkan pengalamannya.
Saat diperiksa, tekanan darah Dewi mencapai 150 mm/Hg, lebih tinggi daripada kondisi normal yang berkisar 120 mm/Hg. Dokter yang curiga segera merekomendasikan Dewi menjalani sejumlah pemeriksaan lanjutan. Termasuk pemeriksaan darah dan urine.
“Berdasarkan pemeriksaan itu, dokter menyatakan saya terkena preeklampsia. Beberapa parameter pemeriksaan menunjukkan jantung dan paru saya sudah terganggu akibat preeklampsia itu. Janin harus dikeluarkan. Kalau dibiarkan, kondisi saya dan janin bisa bertambah gawat,” papar ibu rumah tangga itu.
Meski berat, Dewi mengikuti saran dokter. Janin yang sedianya bakal menjadi anak ketiganya itu
dilahirkan melalui operasi caesar.
Sayang, karena usianya yang terlalu muda, janin tersebut tidak bisa bertahan. “Meski sangat kehilangan, saya tetap bersyukur masih bisa selamat,” kata Dewi.
Apa yang dialami Dewi, preeklampsia, merupakan salah satu gangguan yang patut diwaspadai ibu hamil di penghujung kehamilan.
Gangguan tersebut tergolong sebagai faktor penyebab kematian ibu di bulan-bulan terakhir kehamilan.
“Kehamilan pada periode trimester ketiga (usia kandungan 7-9 bulan) merupakan periode penting sekaligus rawan. Pada trimester ketiga inilah terkadang muncul risiko kematian ibu karena beberapa hal, di antaranya preeklampsia, perdarahan, dan infeksi,” papar dokter spesialis obstetri dan ginekologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Dwiana Ocviyanti, pada diskusi kesehatan Nutritalk yang diselenggarakan Sarihusada, di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Preeklampsia, lanjut Dwiana, merupakan komplikasi pada kehamilan trimester tiga berupa tekanan darah tinggi dan kerusakan pada pembuluh darah yang ditandai dengan adanya protein pada urine serta pembengkakan di lengan, kaki, dan wajah. Sejauh ini belum diketahui penyebab pasti preeklampsia.
Selain preeklampsia, ancaman lain yang perlu diwaspadai ibu di trimester ketiga kehamilan yakni perdarahan. Penyebab utama per
darahan itu ialah solutio placenta dan placenta praevia. Solutio placenta merupakan kondisi lepasnya plasenta (ari-ari) dari dinding rahim akibat trauma. Misalnya, terbentur atau terjatuh. Adapun placenta praevia merupakan kondisi plasenta yang posisinya menutup jalan lahir.
Jenis perdarahan lain yang juga kerap mengancam nyawa seorang ibu yakni perdarahan pascamelahirkan.
“Sudah pernah dihitung, saat ibu melahirkan mengalami perdarahan, volume darah yang keluar bisa mencapai 500 cc dalam satu menit.
Sementara itu, di tubuh kita hanya ada sekitar 5 liter darah. Jadi, perdarahan 10 menit saja bisa menghabiskan darah ibu dan menyebabkan kematian,” ujar Dwiana.
Mengingat rawannya masa kehamilan trimester ketiga, lanjut Dwiana, setiap ibu hamil wajib memeriksakan kandungannya secara rutin. Tujuannya ialah untuk mengantisipasi berbagai ancaman yang mungkin timbul.
“Contohnya placenta praevia.
Kejadiannya memang tidak dapat dicegah, tapi bisa diketahui lebih awal lewat pemeriksaan USG. Ibu yang diketahui mengalami placenta praevia tidak bisa melahirkan normal, jadi harus siap-siap menjalani operasi caesar,” kata dokter yang berpraktik di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) itu.
Pun demikian dengan preeklamp
sia, kejadiannya tidak bisa dicegah karena hingga kini penyebab pastinya belum diketahui. Namun dengan kontrol rutin, naiknya tekanan darah ibu yang menjadi penanda preeklampsia bisa dideteksi. Selain memeriksakan kandungan secara rutin, hal lain yang wajib dilakukan ibu hamil ialah mencukupi kebutuhan gizi. Kecukupan gizi tidak hanya diperlukan untuk mendukung pertumbuhan janin, tetapi juga untuk menekan risiko gangguan kehamilan.
“Preeklampsia, misalnya. Meski penyebab pastinya belum diketahui, faktor risikonya dapat diturunkan dengan menghindari obesitas pada
kehamilan serta menjalankan pola makan ibu hamil gizi seimbang dan mencukupi kebutuhan mikronutrisi, khususnya vitamin A, C, dan E,” jelas Dwiana.
Perdarahan saat melahirkan yang sangat berbahaya bagi ibu juga bisa dicegah dengan mencukupi gizi.
Dwiana menjelaskan salah satu penyebab perdarahan saat melahirkan yakni anemia. Anemia pada ibu hamil yang ditandai dengan kadar hemoglobin darah kurang dari 11 gr/dl terjadi karena ibu kekurangan zat besi dan faktor gizi pembentuk hemoglobin lainnya seperti protein, vitamin C, dan asam folat. “Jadi, dengan mencukupi gizi, anemia bisa dicegah. Risiko perdarahan saat melahirkan juga bisa ditekan.”
Pada kesempatan sama, dokter spesialis gizi klinik dari FKUI/RSCM Widjaja Lukito mengungkapkan ibu hamil dapat memenuhi kebutuhan gizi dengan cara mengonsumsi makanan yang bervariasi, mencakup sumber karbohidrat, protein, lemak, serta, vitamin, dan mineral.
“Ibu hamil juga memerlukan tambahan asupan kalori harian 300 kalori lebih besar daripada biasanya.
Asupan itu setara dengan dua gelas susu,“ ujar Widjaja.
Ia menambahkan, kecukupan gizi ibu hamil bisa dilihat dari kenaikan berat badan. Selama kehamilan, berat badan idealnya bertambah 12-15 kg. (*/H-1/ Media Indonesia, 19/02/2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar