Di tahun ketiga ini cita-cita menjadi salah satu kota pusat mode dunia diwujudkan dengan membuat ramalan tren mode sendiri dan gerakan ramah lingkungan.
HARI kedua rangkaian Indonesia Fashion Week (IFW) 2014 tidak hanya diisi dengan peragaan busana dan konferensi pers. Di sebuah ruang di Balai Sidang Jakarta, Jakarta, yang merupakan tempat gelaran itu, ada sebuah presentasi yang menggabungkan mulai fenomena sosial hingga warna, gaya dan potongan busana.
“Distrust inilah yang mendorong munculnya bentuk kreativitas-kreativitas baru, yang (kemudian) melahirkan tren baru,” ujar sosok perempuan dalam video yang disajikan Jumat (21/2) itu.
Dialah Isti Dhaniswari, seorang peneliti tren yang berbasis di Nuremberg, Jerman. Distrust yang ia maksud ialah krisis kepercayaan masyarakat di berbagai belahan dunia terhadap banyak hal.
Menyajikan peramalan tren mode sendiri menjadi salah satu bentuk upaya IFW untuk menjadikan Indonesia salah satu kota pusat mode dunia. Untuk tahun ini, dengan menggandeng peramal tren luar negeri, IFW menampilkan tren 2015/2016 yang dinamakan Re+Habitat (Rehabilitation Habitat). Tren itu memiliki empat subtema. Tema Alliance dicirikan dengan unsur tradisi yang kemudian diwujudkan dengan penggunaan warna cerah, bahan transparan, dan jahitan tanpa kelim. Sementara itu, tema Biomimetic menggunakan bahan-bahan serat yang hangat.
Tema Adoirt juga didominasi warna cerah, tetapi memasukkan juga motif dan potongan geometris. Tema Veracious memadukan bahan-bahan etnik dengan potongan terbuka. “Di satu sisi modern, tapi di sisi lain kental akan unsur budaya,” kata Dina Midiani, Direktur IFW 2914 yang juga menjadi salah seorang inisiator peramalan tren itu.
Di kesempatan lebih awal, perempuan yang juga desainer dan pengurus Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) itu mengatakan dengan membuat peramalan tren sendiri, Indonesia bisa menawarkan tren baru kepada dunia. Salah satu bentuk tren yang telah ditawarkan ialah penggunaan sarung sebagai bagian busana masa kini.
Tahun ini, di usia ketiga IFW, beberapa tren yang diramalkan telah terlihat pula di panggung mereka. Dalam peragaan gabungan bertajuk Universe Bonding
yang berlangsung Kamis (20/2), warnawarni cerah dan bahan transparan terlihat dalam peragaan Votum.
Label milik Sebastian Gunawan itu menyajikan gaun-gaun malam dan koktail yang manis dengan motif-motif bunga berwarna cerah. Bahan transparan digunakan pada bagian bahu.
Peragaan itu juga menampilkan koleksi Ali Charisma dan Ika Butoni. Ali menampilkan koleksi bergaya misterius dan modern dengan penggunaan bahan kulit dan nuansa biru gelap. Dalam koleksi ini juga terlihat penggunaan siluet sarung.
“Sarung juga bisa digunakan oleh anakanak muda,” katanya.
Bahan kulit imitasi banyak terlihat di koleksi Ika Butoni. Sang desainer Mardiana Ika masih dengan ciri khas desainnya yang menampilkan teknik patchwork dengan slashing dan piping, tetapi desainnya tidak lagi kental dengan etnik. Di antara busananya adalah setelan blazer ketat dan rok mini dalam nuansa cokelat.
Peragaan itu juga berupaya menyandingkan desain lokal dan internasional dengan ditampilkannya koleksi Steven Tach (Jepang) dan Said Mahrouf (Maroko).
lewat tajuk mereka, Local Movement & Green Movement. Menurut Dina, gerakan lokal itu dapat diartikan dengan penggunaan unsur lokal dan juga menumbuhkan kecintaan pada fesyen lokal.
Sementara itu, Green Movement dimaksudkan untuk membuat industri fesyen Indonesia lebih ramah lingkungan. Gerakan itu dibuat karena melihat kecenderungan masyarakat dunia yang makin mementingkan soal kelestarian lingkungan. Jika pelaku mode Indonesia tidak memperhatikan itu, menurut Dina, produk mereka akan sulit menembus pasar internasional.
Misi IFW itu juga berupaya dipenuhi para desainer. Ali, misalnya, menggunakan batik Bantul yang dibuat dengan pewarna alam. Meski begitu, desainer juga memiliki terjemahan masing-masing.
Soal unsur lokal, Monica Jufry berpendapat unsur lokal tidak hanya berarti bahan-bahan, tetapi juga sumber daya manusia. Soal upaya menjadi lebih ramah lingkungan, desainer yang menampilkan koleksi baju muslim pada Jumat (21/2) itu mengaku belum menggunakan serat dan pewarna alam.
“Misi ini sangat baik, tetapi sangat idealis,“ ujar Monica.
Program green movement Program green movement sebenarnya telah didorong sejak tahun lalu. Bekerja sama dengan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan Kamar Dagang Swedia, IFW memberi pelatihan industri fesyen yang ramah lingkungan bagi 30 merek pakaian lokal.
Dina sendiri mengakui gerakan lingkungan mem butuhkan waktu lama untuk berhasil. Karena itu, pihaknya sangat memaklumi jika para desainer masih berusaha beradaptasi meski dalam langkah kecil.
Rangkaian IFW akan berlangsung hingga hari ini dan menampilkan beragam koleksi. Setelah pada Sabtu ditampilkan koleksi antara lain dari Lenny Agustin, Priyo, dan Sapto Djojokartiko, hari ini akan tampil koleksi dari desainer muda seperti Kleting hingga desainer senior Anne Avantie. (*/Pri/ M-4/ Media Indonesia, 23/02/2014)
HARI kedua rangkaian Indonesia Fashion Week (IFW) 2014 tidak hanya diisi dengan peragaan busana dan konferensi pers. Di sebuah ruang di Balai Sidang Jakarta, Jakarta, yang merupakan tempat gelaran itu, ada sebuah presentasi yang menggabungkan mulai fenomena sosial hingga warna, gaya dan potongan busana.
“Distrust inilah yang mendorong munculnya bentuk kreativitas-kreativitas baru, yang (kemudian) melahirkan tren baru,” ujar sosok perempuan dalam video yang disajikan Jumat (21/2) itu.
Dialah Isti Dhaniswari, seorang peneliti tren yang berbasis di Nuremberg, Jerman. Distrust yang ia maksud ialah krisis kepercayaan masyarakat di berbagai belahan dunia terhadap banyak hal.
Menyajikan peramalan tren mode sendiri menjadi salah satu bentuk upaya IFW untuk menjadikan Indonesia salah satu kota pusat mode dunia. Untuk tahun ini, dengan menggandeng peramal tren luar negeri, IFW menampilkan tren 2015/2016 yang dinamakan Re+Habitat (Rehabilitation Habitat). Tren itu memiliki empat subtema. Tema Alliance dicirikan dengan unsur tradisi yang kemudian diwujudkan dengan penggunaan warna cerah, bahan transparan, dan jahitan tanpa kelim. Sementara itu, tema Biomimetic menggunakan bahan-bahan serat yang hangat.
Tema Adoirt juga didominasi warna cerah, tetapi memasukkan juga motif dan potongan geometris. Tema Veracious memadukan bahan-bahan etnik dengan potongan terbuka. “Di satu sisi modern, tapi di sisi lain kental akan unsur budaya,” kata Dina Midiani, Direktur IFW 2914 yang juga menjadi salah seorang inisiator peramalan tren itu.
Di kesempatan lebih awal, perempuan yang juga desainer dan pengurus Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) itu mengatakan dengan membuat peramalan tren sendiri, Indonesia bisa menawarkan tren baru kepada dunia. Salah satu bentuk tren yang telah ditawarkan ialah penggunaan sarung sebagai bagian busana masa kini.
Tahun ini, di usia ketiga IFW, beberapa tren yang diramalkan telah terlihat pula di panggung mereka. Dalam peragaan gabungan bertajuk Universe Bonding
yang berlangsung Kamis (20/2), warnawarni cerah dan bahan transparan terlihat dalam peragaan Votum.
Label milik Sebastian Gunawan itu menyajikan gaun-gaun malam dan koktail yang manis dengan motif-motif bunga berwarna cerah. Bahan transparan digunakan pada bagian bahu.
Peragaan itu juga menampilkan koleksi Ali Charisma dan Ika Butoni. Ali menampilkan koleksi bergaya misterius dan modern dengan penggunaan bahan kulit dan nuansa biru gelap. Dalam koleksi ini juga terlihat penggunaan siluet sarung.
“Sarung juga bisa digunakan oleh anakanak muda,” katanya.
Bahan kulit imitasi banyak terlihat di koleksi Ika Butoni. Sang desainer Mardiana Ika masih dengan ciri khas desainnya yang menampilkan teknik patchwork dengan slashing dan piping, tetapi desainnya tidak lagi kental dengan etnik. Di antara busananya adalah setelan blazer ketat dan rok mini dalam nuansa cokelat.
Peragaan itu juga berupaya menyandingkan desain lokal dan internasional dengan ditampilkannya koleksi Steven Tach (Jepang) dan Said Mahrouf (Maroko).
lewat tajuk mereka, Local Movement & Green Movement. Menurut Dina, gerakan lokal itu dapat diartikan dengan penggunaan unsur lokal dan juga menumbuhkan kecintaan pada fesyen lokal.
Sementara itu, Green Movement dimaksudkan untuk membuat industri fesyen Indonesia lebih ramah lingkungan. Gerakan itu dibuat karena melihat kecenderungan masyarakat dunia yang makin mementingkan soal kelestarian lingkungan. Jika pelaku mode Indonesia tidak memperhatikan itu, menurut Dina, produk mereka akan sulit menembus pasar internasional.
Misi IFW itu juga berupaya dipenuhi para desainer. Ali, misalnya, menggunakan batik Bantul yang dibuat dengan pewarna alam. Meski begitu, desainer juga memiliki terjemahan masing-masing.
Soal unsur lokal, Monica Jufry berpendapat unsur lokal tidak hanya berarti bahan-bahan, tetapi juga sumber daya manusia. Soal upaya menjadi lebih ramah lingkungan, desainer yang menampilkan koleksi baju muslim pada Jumat (21/2) itu mengaku belum menggunakan serat dan pewarna alam.
“Misi ini sangat baik, tetapi sangat idealis,“ ujar Monica.
Program green movement Program green movement sebenarnya telah didorong sejak tahun lalu. Bekerja sama dengan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan Kamar Dagang Swedia, IFW memberi pelatihan industri fesyen yang ramah lingkungan bagi 30 merek pakaian lokal.
Dina sendiri mengakui gerakan lingkungan mem butuhkan waktu lama untuk berhasil. Karena itu, pihaknya sangat memaklumi jika para desainer masih berusaha beradaptasi meski dalam langkah kecil.
Rangkaian IFW akan berlangsung hingga hari ini dan menampilkan beragam koleksi. Setelah pada Sabtu ditampilkan koleksi antara lain dari Lenny Agustin, Priyo, dan Sapto Djojokartiko, hari ini akan tampil koleksi dari desainer muda seperti Kleting hingga desainer senior Anne Avantie. (*/Pri/ M-4/ Media Indonesia, 23/02/2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar