Jodoh tidak datang sendiri seperti kisah-kisah dongeng. Jodoh harus diperjuangkan begitu ada kesempatan. Benarkah?
PERTANYAAN kapan menikah sejatinya sudah tidak asing bagi sebagian perem puan yang sudah menginjak usia 25 tahun ke atas. Bagi sebagian orang, pertanyaan seperti itu menjadi momok.
Santi, bukan nama sebenarnya, kerap kali mengumbar kekesalan (curahan hati) kepada saudara sepupunya. Berulang kali pertanyaan serupa hadir saat acara kumpul keluarga besar. Sang ibu juga tak henti memberi pertanyaan yang sama.
Yovanka Lalawangi, pekerja perusahaan swasta, memiliki pengalaman tidak jauh berbeda. Perempuan perfeksionis itu terlambat menikah karena memiliki ekspektasi tinggi terhadap pekerjaan. Karena keasyikan, target menikah yang sudah ditetapkan pun meleset.Ia baru tersentak ketika kerap mendapat pertanyaan, “Kapan menikah?“ “Ujung-ujungnya kita kasih jawaban ke arah rohani.
Ya mungkin belum rezeki dari Tuhan, padahal mah Tuhan selalu kasih kesempatan, kita saja yang sering membenarkan pernyataan tersebut tanpa usaha gigih,“ ujar perempuan yang kini sudah bersuami itu.Persentase lajang Persoalan jodoh menjadi fenomena unik yang dimiliki masyarakat urban di kota besar. Karier menjadi orientasi utama bagi sebagian perempuan. Alhasil, terkadang mereka jadi tergagap-gagap menggapai dunia sosial sesungguhnya. Berkawan atau berkencan dengan lawan jenis spesial kadang jadi terabaikan.
Penelitian yang diungkap biro jodoh premium offline, Lunch Actually, menyebutkan tren perempuan lajang usia 30-34 tahun di era 1990 sebesar 8,7%. Seiring dengan perkembangan zaman, persentasenya meningkat. Di 2000 dengan rentang usia serupa naik menjadi 14,3%. Untuk laki-laki, di usia 30-34 tahun pada 1990 sebesar 9,4%, sedangkan pada 2000 menjadi 11,8%.
“Banyak yang menghabiskan waktu untuk bekerja sehingga sudah malas dan lelah un tuk bermain keluar (hangout) dengan temanteman.
Apalagi masih ada kepercayaan, jodoh datang dengan sendiri. Yang menikah di usia muda banyak, tetapi yang masih melajang hingga usia 30-an pun ada. Sudah bekerja dan tidak memiliki pasangan itu lebih sulit ketimbang mereka yang sudah berpacaran sejak kuliah,“ tukas CEO of Lunch Actually, Violet Lim, saat mengenalkan usaha miliknya kepada media di Jakarta, Kamis (2/10).Biro jodoh Lunch Actually pertama kali diluncurkan di Singapura pada April 2004. Tahun-tahun selanjutnya Violet berekspansi ke kota besar lain seperti Kuala Lumpur, Hong Kong, Penang, dan kini Jakarta.
Violet menawarkan konsep yang berbeda, ia benar-benar ingin mengetahui klien secara mendalam. Karena itu, Violet menggunakan prosedur wawancara dengan calon kliennya untuk mengetahui seberapa besar keseriusan untuk menggunakan jasa layanan biro jodoh.Tentu saja, wawancara dilakukan dalam proses bersahabat, tidak seperti halnya melamar pekerjaan. Klien pun diharapkan menyerahkan data diri yang berhubungan dengan keperluan proses mencari pasangan.
Ibu dua anak itu menyarankan agar tidak perlu gelisah bagi para lajang yang belum memiliki pasangan.Berpikir positif dan memiliki kepercayaan diri yang kuat menjadi modal utama untuk menjalin pertemanan dengan banyak orang. Pun begitu dengan lajang yang ingin bergabung bersama biro jodoh, tetapi malu karena takut dianggap negatif. Violet mengungkap berbagai jenis usaha yang halal perlu dilakukan, bukan sekadar duduk diam, menunggu datangnya pangeran seperti ada di cerita-cerita dongeng.
“Usaha itu perlu. Kita akan melihat dari preferensi kriteria dan profil klien sehingga bisa memasangkan dengan klien kita lainnya.Kami atur janji makan siang di antara keduanya. Mereka tinggal datang, berkenalan, dan selebihnya menjadi pilihan mereka berdua.Tentu saja, kami butuh jawaban dari kencan makan siang yang sudah dilakukan,“ terang Violet. Jika kecocokan terjalin, dengan sendirinya klien akan berkomunikasi dan merencanakan pertemuan di lain hari.
Namun, jika tidak, pihaknya akan merekomendasikan perempuan atau laki-laki lain.Momen makan siang Sesuai dengan namanya, Violet menggunakan momentum makan siang sebagai waktu berkenalan calon pasangan. Ia percaya dengan suasana santai, informal, dan nyaman saat makan siang, klien akan dengan mudah mendapatkan chemistry dengan lawan jenis.Makan siang juga dianggap tepat karena waktunya tidak panjang. Ketika klien tidak nyaman dengan calon pasangan, tidak perlu repot mencari alasan untuk memotong waktu pertemuan.
“Konsep kami short, sweet, simple. Daripada membuang waktu lama, mengapa tidak dipersingkat? Memesan menu makanan, berbincang tentang hal-hal ringan, tentu akan mencairkan suasana. Kalau cocok bisa diputuskan langsung untuk pertemuan selanjutnya,“ tukasnya tersenyum.
Lunch Actually, imbuh Violet, lebih ba nyak menangani klien dengan latar pendi dikan sarjana tingkat satu. Untuk pekerjaan di dominasi pekerja kantoran. Seperti biro jodoh pada umumnya, ada biaya yang dikenakan untuk klien sebesar Rp6 juta untuk jangka waktu tiga tahun. Violet menambahkan, waktu tersebut tidak harus digunakan klien.
“Banyak yang sibuk, akhirnya satu tahun pertama tidak digunakan. Nah masih ada sisa dua tahun untuk memanfaatkannya. Kalau jodoh lintas negara kami bisa menangani, tetapi risikonya beragam. Selain itu, kalau fokus berelasi serius, ongkos untuk bertemu pasangan juga jadi meningkat he he he,“ ujar pemilik layanan biro jodoh yang telah diakreditasi beberapa perusahaan seperti SDN Trust itu. (M-3) Sumber : Media Indonesia, 19/10/2014, Halaman : 22
PERTANYAAN kapan menikah sejatinya sudah tidak asing bagi sebagian perem puan yang sudah menginjak usia 25 tahun ke atas. Bagi sebagian orang, pertanyaan seperti itu menjadi momok.
Santi, bukan nama sebenarnya, kerap kali mengumbar kekesalan (curahan hati) kepada saudara sepupunya. Berulang kali pertanyaan serupa hadir saat acara kumpul keluarga besar. Sang ibu juga tak henti memberi pertanyaan yang sama.
Yovanka Lalawangi, pekerja perusahaan swasta, memiliki pengalaman tidak jauh berbeda. Perempuan perfeksionis itu terlambat menikah karena memiliki ekspektasi tinggi terhadap pekerjaan. Karena keasyikan, target menikah yang sudah ditetapkan pun meleset.Ia baru tersentak ketika kerap mendapat pertanyaan, “Kapan menikah?“ “Ujung-ujungnya kita kasih jawaban ke arah rohani.
Ya mungkin belum rezeki dari Tuhan, padahal mah Tuhan selalu kasih kesempatan, kita saja yang sering membenarkan pernyataan tersebut tanpa usaha gigih,“ ujar perempuan yang kini sudah bersuami itu.Persentase lajang Persoalan jodoh menjadi fenomena unik yang dimiliki masyarakat urban di kota besar. Karier menjadi orientasi utama bagi sebagian perempuan. Alhasil, terkadang mereka jadi tergagap-gagap menggapai dunia sosial sesungguhnya. Berkawan atau berkencan dengan lawan jenis spesial kadang jadi terabaikan.
Penelitian yang diungkap biro jodoh premium offline, Lunch Actually, menyebutkan tren perempuan lajang usia 30-34 tahun di era 1990 sebesar 8,7%. Seiring dengan perkembangan zaman, persentasenya meningkat. Di 2000 dengan rentang usia serupa naik menjadi 14,3%. Untuk laki-laki, di usia 30-34 tahun pada 1990 sebesar 9,4%, sedangkan pada 2000 menjadi 11,8%.
“Banyak yang menghabiskan waktu untuk bekerja sehingga sudah malas dan lelah un tuk bermain keluar (hangout) dengan temanteman.
Apalagi masih ada kepercayaan, jodoh datang dengan sendiri. Yang menikah di usia muda banyak, tetapi yang masih melajang hingga usia 30-an pun ada. Sudah bekerja dan tidak memiliki pasangan itu lebih sulit ketimbang mereka yang sudah berpacaran sejak kuliah,“ tukas CEO of Lunch Actually, Violet Lim, saat mengenalkan usaha miliknya kepada media di Jakarta, Kamis (2/10).Biro jodoh Lunch Actually pertama kali diluncurkan di Singapura pada April 2004. Tahun-tahun selanjutnya Violet berekspansi ke kota besar lain seperti Kuala Lumpur, Hong Kong, Penang, dan kini Jakarta.
Violet menawarkan konsep yang berbeda, ia benar-benar ingin mengetahui klien secara mendalam. Karena itu, Violet menggunakan prosedur wawancara dengan calon kliennya untuk mengetahui seberapa besar keseriusan untuk menggunakan jasa layanan biro jodoh.Tentu saja, wawancara dilakukan dalam proses bersahabat, tidak seperti halnya melamar pekerjaan. Klien pun diharapkan menyerahkan data diri yang berhubungan dengan keperluan proses mencari pasangan.
Ibu dua anak itu menyarankan agar tidak perlu gelisah bagi para lajang yang belum memiliki pasangan.Berpikir positif dan memiliki kepercayaan diri yang kuat menjadi modal utama untuk menjalin pertemanan dengan banyak orang. Pun begitu dengan lajang yang ingin bergabung bersama biro jodoh, tetapi malu karena takut dianggap negatif. Violet mengungkap berbagai jenis usaha yang halal perlu dilakukan, bukan sekadar duduk diam, menunggu datangnya pangeran seperti ada di cerita-cerita dongeng.
“Usaha itu perlu. Kita akan melihat dari preferensi kriteria dan profil klien sehingga bisa memasangkan dengan klien kita lainnya.Kami atur janji makan siang di antara keduanya. Mereka tinggal datang, berkenalan, dan selebihnya menjadi pilihan mereka berdua.Tentu saja, kami butuh jawaban dari kencan makan siang yang sudah dilakukan,“ terang Violet. Jika kecocokan terjalin, dengan sendirinya klien akan berkomunikasi dan merencanakan pertemuan di lain hari.
Namun, jika tidak, pihaknya akan merekomendasikan perempuan atau laki-laki lain.Momen makan siang Sesuai dengan namanya, Violet menggunakan momentum makan siang sebagai waktu berkenalan calon pasangan. Ia percaya dengan suasana santai, informal, dan nyaman saat makan siang, klien akan dengan mudah mendapatkan chemistry dengan lawan jenis.Makan siang juga dianggap tepat karena waktunya tidak panjang. Ketika klien tidak nyaman dengan calon pasangan, tidak perlu repot mencari alasan untuk memotong waktu pertemuan.
“Konsep kami short, sweet, simple. Daripada membuang waktu lama, mengapa tidak dipersingkat? Memesan menu makanan, berbincang tentang hal-hal ringan, tentu akan mencairkan suasana. Kalau cocok bisa diputuskan langsung untuk pertemuan selanjutnya,“ tukasnya tersenyum.
Lunch Actually, imbuh Violet, lebih ba nyak menangani klien dengan latar pendi dikan sarjana tingkat satu. Untuk pekerjaan di dominasi pekerja kantoran. Seperti biro jodoh pada umumnya, ada biaya yang dikenakan untuk klien sebesar Rp6 juta untuk jangka waktu tiga tahun. Violet menambahkan, waktu tersebut tidak harus digunakan klien.
“Banyak yang sibuk, akhirnya satu tahun pertama tidak digunakan. Nah masih ada sisa dua tahun untuk memanfaatkannya. Kalau jodoh lintas negara kami bisa menangani, tetapi risikonya beragam. Selain itu, kalau fokus berelasi serius, ongkos untuk bertemu pasangan juga jadi meningkat he he he,“ ujar pemilik layanan biro jodoh yang telah diakreditasi beberapa perusahaan seperti SDN Trust itu. (M-3) Sumber : Media Indonesia, 19/10/2014, Halaman : 22
Tidak ada komentar:
Posting Komentar