Di tangan Willy Junianto Salim, fesyen menjadi alat kampanye untuk menggaungkan pesan anti-SARA. MISI pertama yang diemban Willy Junianto Salim, pemilik toko ber label Equal, adalah bagaimana menarik minat orang agar mau masuk toko untuk melihat-lihat. Keputusan untuk membeli atau tidak ternyata berada di nomor ke sekian.
Hari itu, Media Indonesia tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang Equal dan penggagas di belakangnya. Toko yang terletak di area bioskop itu menjadi semakin menarik perhatian setiap orang yang lalu lalang di depannya. Material kaca digunakan di bagian depan toko sehingga kaus yang menjadi andalan penjualan dapat terlihat.
Hanya saja, orang yang lalu lalang tidak bisa menerka kaus apa yang dijual si empunya. Apalagi, poster-poster besar yang dibingkai apik turut pula meramaikan isi toko yang dijaga dua orang bertubuh pendek itu.
Rasa penasaran untuk menerka maksud usaha tersebut memberikan titik terang ketika melihat-lihat desain di beberapa baju yang digantung. Bukan sekadar kualitas pada bahan, Willy rupanya mempunyai misi memberi edukasi melalui desain tipografi.
Di beberapa kaus, desain bergambar menjadi pelengkap kalimat ataupun berdiri sendiri.Willy mengakui ide tersebut bukan lantaran latah, tetapi dia tergerak ketika melihat banyak tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama, ras, hingga suku bangsa.
Ia lantas memutar otak, bagaimana agar pesan persatuan dapat sampai ke masyarakat.Idealnya, semua masyarakat terenyuh dan berpikir seusai melihat sentuhan kalimat yang tertera dalam kaus yang dia jual.
“Saya tidak punya pengalaman berorganisasi dengan baik. Pergerakan dengan cara demonstrasi, saya tidak suka. Susah ngumpulin massa, ha ha ha. Dari situ muncul keinginan untuk menggaungkan anti-SARA melalui fesyen. Pemikiran saya, satu orang pakai baju saya setidaknya ada lima orang yang membaca pesan yang tertuang dalam kaus tersebut.Persoalan nyangkut atau tidak di benak orang, itu urusan masing-masing,“ ungkap laki-laki yang lebih dulu berwirausaha di bidang food and beverage itu.
Apakah ide itu muncul karena Willy pernah punya pengalaman sensitif terkait SARA? Willy berucap, setiap orang pasti pernah mengalami, hanya saja tingkatannya berbeda. Ia merasa bersyukur karena terhindar dari peristiwa kekerasan 1998.
Bagi Willy, SARA tidak bisa dikaitkan dengan perilaku, sehingga seharusnya tidak ada cap buruk yang melekat pada suatu agama, ras, dan suku bangsa tertentu. “Saya juga tidak meminta sama Tuhan untuk dilahirkan pada kondisi seperti sekarang ini,“ imbuh pemilik produk yang menjujung kesetaraan ini.Meleset dari target Terlepas dari itu, bisnis produk fesyen ternyata tidak semudah yang dia pikirkan.Sebelumnya, Willy meyakini memproduksi kaus tidak akan menyita banyak waktu.
Hanya tinggal membeli bahan, berikan sentuhan desain, lantas jahit sesuai kemauan. Namun, keyakinan itu terbantahkan. Tenggat waktu satu tahun untuk memulai pengerjaan produksi meleset. Banyak kesalahan yang diakui Willy terjadi lantaran dirinya awam dalam bisnis fesyen. Salah membeli bahan karena tidak mengerti jenis bahan hingga pengeluaran melampaui hitungan modal, sudah pernah ia alami.
Beruntung dia punya teman yang lebih dulu bekerja di industri yang kerap disebut glamour itu. Dengan modal satu mesin jahit, satu mesin obras, meja potong, dan teknisi printing, Willy mulai melakukan apa yang disarankan temannya. Kesalahan menjadi pelajaran berharga.
“Saya tidak pernah tahu bisnis ritel. Sebelumnya bisnis saya kan menggunakan budaya bisnis kekeluargaan. Kalau ini profesional, makanya di awal saya banyak menuai kesalahan. Pun begitu dengan desain. Saya masih menggunakan nafsu saya sendiri, tidak menurut dengan perkataan orang desain.
Hasilnya, banyak yang tidak jadi. Teman saya yang banyak memberikan saran melarang saya untuk menggunakan nafsu sendiri. Yang membeli produk saya kan orang lain, bukan saya pribadi, harus melihat tujuan pasar,“ tukasnya sembari meneguk minuman.
Awal produksi, Willy melempar pekerjaan kepada beberapa penjahit, namun satu tahun terakhir ini, pengerjaan sudah dilakukan di rumah produksinya sendiri.
Hingga saat ini, produksi kaus berlabel Equal masih dalam kisaran ribuan per satu bulan.Desain pun masih menjadi kendala. Namun, konsep kaus Willy sudah jelas, menggabungkan fesyen dengan kata-kata yang catchy.
“Ini juga ada pengerjaan yang molor sekitar satu tahun. Saya berterima kasih karena perusahaan itu mau menanti tanpa mengenakan denda,“ ujar Willy. Dia menambahkan, saat ini target pasar yang semula untuk usia 17-35 tahun, bergeser menjadi 25-35tahun.“Mungkin karena pengaruh harga, tetapi seharusnya anak muda mulai peduli dengan isu kesetaraan,“ tukasnya.Kesetaraan dan aksi sosial Setiap orang pasti memiliki mimpi menjadi orang kaya, begitu pula dengan angan-angan Willy.
Namun, mimpi itu berubah ketika dirinya berbincang dengan kerabat yang bergabung dalam sebuah yayasan kemanusiaan lintas agama. Willy mulai memantapkan hati untuk memiliki yayasan sendiri, karena itu dia butuh usaha yang stabil, sehingga mampu mendanai yayasan yang akan dia bangun.
Willy memulai dengan langkah kecil, Toko Equal. Beberapa persen dari keuntungan yang dihitung per empat bulan, akan disumbangkan kepada pihak yang membutuhkan. Konsepnya, setiap ada pembelian satu baju, beberapa persen dari nominal tersebut masuk ke kas donasi sosial.
“Saya masih menyeleksi panti asuhan mana yang benar-benar membutuhkan. Saya tidak ingin bantuan malah jadi bisnis lagi buat orang lain. Persoalan rugi, saya pikir tidak ada yah, karena usaha ini didirikan bukan sekadar untuk donasi sosial, tetapi ada mimpi besar yang juga harus saya wujudkan.“
Berbagi, kata Willy, bisa memberi ketenangan dalam hidup, sehingga konsep donasi sosial pun muncul dalam grand design pendirian Equal. “Semisal untung 100%, mungkin yang akan saya sumbangkan 10%. Kan masih ada sisa 90%, tidak rugi toh,“ cetusnya sembari menggelengkan kepala ketika ditanya persentase dana sosial dari pendapatan usahanya. Ada yang menarik mata selain guratan kalimat di kaus dan jumper karya Willy. Tampak dua pekerja bertubuh pendek terlihat sangat cekatan menceritakan detail dari desain di setiap kaus. Mereka tampak terlatih menceritakan konsep yang diusung Equal.
Fitri, perempuan bertubuh pendek yang mengenakan kerudung itu mengaku sudah bekerja sejak awal pembukaan toko.
“Kami punya komunitas, nah salah satu anggota menghubungi kami dan menanyakan apakah saya mau bekerja menjadi penjaga toko.Ya sering sih ada pengunjung yang mungkin kaget melihat penjaga tokonya seperti saya, he he he. Biasa saja sih enggak tersinggung,“ tukas perempuan yang biasa bekerja sebagai pemeran pembantu dalam serial komedi atau horor.
Kebijakan Willy sesuai dengan pemberian nama brand. Equal memiliki arti berperilaku adil dan tidak memandang orang lain lebih rendah daripada dirinya. Bukan sekadar konsep, ia pun melakoni kesetaraan dengan mempekerjakan orang-orang bertubuh pendek.
Ia memberi pemahaman kepada karyawannya untuk mulai percaya diri, sehingga bisa dihargai orang lain. Karena itu bekerja dengan keahlian komunikasi menjadi cara yang dinilai lebih baik daripada sekadar menjadi peran pembantu dan badut.
“Kita kan sama saja dengan mereka, enggak ada yang sempurna. Kenapa tidak membantu membuka lapangan kerja untuk mereka,“ pungkas pemilik 10 karyawan itu. (M-3) Media Indonesia, 1/11/2014, halaman 19
Hari itu, Media Indonesia tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang Equal dan penggagas di belakangnya. Toko yang terletak di area bioskop itu menjadi semakin menarik perhatian setiap orang yang lalu lalang di depannya. Material kaca digunakan di bagian depan toko sehingga kaus yang menjadi andalan penjualan dapat terlihat.
Hanya saja, orang yang lalu lalang tidak bisa menerka kaus apa yang dijual si empunya. Apalagi, poster-poster besar yang dibingkai apik turut pula meramaikan isi toko yang dijaga dua orang bertubuh pendek itu.
Rasa penasaran untuk menerka maksud usaha tersebut memberikan titik terang ketika melihat-lihat desain di beberapa baju yang digantung. Bukan sekadar kualitas pada bahan, Willy rupanya mempunyai misi memberi edukasi melalui desain tipografi.
Di beberapa kaus, desain bergambar menjadi pelengkap kalimat ataupun berdiri sendiri.Willy mengakui ide tersebut bukan lantaran latah, tetapi dia tergerak ketika melihat banyak tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama, ras, hingga suku bangsa.
Ia lantas memutar otak, bagaimana agar pesan persatuan dapat sampai ke masyarakat.Idealnya, semua masyarakat terenyuh dan berpikir seusai melihat sentuhan kalimat yang tertera dalam kaus yang dia jual.
“Saya tidak punya pengalaman berorganisasi dengan baik. Pergerakan dengan cara demonstrasi, saya tidak suka. Susah ngumpulin massa, ha ha ha. Dari situ muncul keinginan untuk menggaungkan anti-SARA melalui fesyen. Pemikiran saya, satu orang pakai baju saya setidaknya ada lima orang yang membaca pesan yang tertuang dalam kaus tersebut.Persoalan nyangkut atau tidak di benak orang, itu urusan masing-masing,“ ungkap laki-laki yang lebih dulu berwirausaha di bidang food and beverage itu.
Apakah ide itu muncul karena Willy pernah punya pengalaman sensitif terkait SARA? Willy berucap, setiap orang pasti pernah mengalami, hanya saja tingkatannya berbeda. Ia merasa bersyukur karena terhindar dari peristiwa kekerasan 1998.
Bagi Willy, SARA tidak bisa dikaitkan dengan perilaku, sehingga seharusnya tidak ada cap buruk yang melekat pada suatu agama, ras, dan suku bangsa tertentu. “Saya juga tidak meminta sama Tuhan untuk dilahirkan pada kondisi seperti sekarang ini,“ imbuh pemilik produk yang menjujung kesetaraan ini.Meleset dari target Terlepas dari itu, bisnis produk fesyen ternyata tidak semudah yang dia pikirkan.Sebelumnya, Willy meyakini memproduksi kaus tidak akan menyita banyak waktu.
Hanya tinggal membeli bahan, berikan sentuhan desain, lantas jahit sesuai kemauan. Namun, keyakinan itu terbantahkan. Tenggat waktu satu tahun untuk memulai pengerjaan produksi meleset. Banyak kesalahan yang diakui Willy terjadi lantaran dirinya awam dalam bisnis fesyen. Salah membeli bahan karena tidak mengerti jenis bahan hingga pengeluaran melampaui hitungan modal, sudah pernah ia alami.
Beruntung dia punya teman yang lebih dulu bekerja di industri yang kerap disebut glamour itu. Dengan modal satu mesin jahit, satu mesin obras, meja potong, dan teknisi printing, Willy mulai melakukan apa yang disarankan temannya. Kesalahan menjadi pelajaran berharga.
“Saya tidak pernah tahu bisnis ritel. Sebelumnya bisnis saya kan menggunakan budaya bisnis kekeluargaan. Kalau ini profesional, makanya di awal saya banyak menuai kesalahan. Pun begitu dengan desain. Saya masih menggunakan nafsu saya sendiri, tidak menurut dengan perkataan orang desain.
Hasilnya, banyak yang tidak jadi. Teman saya yang banyak memberikan saran melarang saya untuk menggunakan nafsu sendiri. Yang membeli produk saya kan orang lain, bukan saya pribadi, harus melihat tujuan pasar,“ tukasnya sembari meneguk minuman.
Awal produksi, Willy melempar pekerjaan kepada beberapa penjahit, namun satu tahun terakhir ini, pengerjaan sudah dilakukan di rumah produksinya sendiri.
Hingga saat ini, produksi kaus berlabel Equal masih dalam kisaran ribuan per satu bulan.Desain pun masih menjadi kendala. Namun, konsep kaus Willy sudah jelas, menggabungkan fesyen dengan kata-kata yang catchy.
“Ini juga ada pengerjaan yang molor sekitar satu tahun. Saya berterima kasih karena perusahaan itu mau menanti tanpa mengenakan denda,“ ujar Willy. Dia menambahkan, saat ini target pasar yang semula untuk usia 17-35 tahun, bergeser menjadi 25-35tahun.“Mungkin karena pengaruh harga, tetapi seharusnya anak muda mulai peduli dengan isu kesetaraan,“ tukasnya.Kesetaraan dan aksi sosial Setiap orang pasti memiliki mimpi menjadi orang kaya, begitu pula dengan angan-angan Willy.
Namun, mimpi itu berubah ketika dirinya berbincang dengan kerabat yang bergabung dalam sebuah yayasan kemanusiaan lintas agama. Willy mulai memantapkan hati untuk memiliki yayasan sendiri, karena itu dia butuh usaha yang stabil, sehingga mampu mendanai yayasan yang akan dia bangun.
Willy memulai dengan langkah kecil, Toko Equal. Beberapa persen dari keuntungan yang dihitung per empat bulan, akan disumbangkan kepada pihak yang membutuhkan. Konsepnya, setiap ada pembelian satu baju, beberapa persen dari nominal tersebut masuk ke kas donasi sosial.
“Saya masih menyeleksi panti asuhan mana yang benar-benar membutuhkan. Saya tidak ingin bantuan malah jadi bisnis lagi buat orang lain. Persoalan rugi, saya pikir tidak ada yah, karena usaha ini didirikan bukan sekadar untuk donasi sosial, tetapi ada mimpi besar yang juga harus saya wujudkan.“
Berbagi, kata Willy, bisa memberi ketenangan dalam hidup, sehingga konsep donasi sosial pun muncul dalam grand design pendirian Equal. “Semisal untung 100%, mungkin yang akan saya sumbangkan 10%. Kan masih ada sisa 90%, tidak rugi toh,“ cetusnya sembari menggelengkan kepala ketika ditanya persentase dana sosial dari pendapatan usahanya. Ada yang menarik mata selain guratan kalimat di kaus dan jumper karya Willy. Tampak dua pekerja bertubuh pendek terlihat sangat cekatan menceritakan detail dari desain di setiap kaus. Mereka tampak terlatih menceritakan konsep yang diusung Equal.
Fitri, perempuan bertubuh pendek yang mengenakan kerudung itu mengaku sudah bekerja sejak awal pembukaan toko.
“Kami punya komunitas, nah salah satu anggota menghubungi kami dan menanyakan apakah saya mau bekerja menjadi penjaga toko.Ya sering sih ada pengunjung yang mungkin kaget melihat penjaga tokonya seperti saya, he he he. Biasa saja sih enggak tersinggung,“ tukas perempuan yang biasa bekerja sebagai pemeran pembantu dalam serial komedi atau horor.
Kebijakan Willy sesuai dengan pemberian nama brand. Equal memiliki arti berperilaku adil dan tidak memandang orang lain lebih rendah daripada dirinya. Bukan sekadar konsep, ia pun melakoni kesetaraan dengan mempekerjakan orang-orang bertubuh pendek.
Ia memberi pemahaman kepada karyawannya untuk mulai percaya diri, sehingga bisa dihargai orang lain. Karena itu bekerja dengan keahlian komunikasi menjadi cara yang dinilai lebih baik daripada sekadar menjadi peran pembantu dan badut.
“Kita kan sama saja dengan mereka, enggak ada yang sempurna. Kenapa tidak membantu membuka lapangan kerja untuk mereka,“ pungkas pemilik 10 karyawan itu. (M-3) Media Indonesia, 1/11/2014, halaman 19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar