Mal ialah tempat publik, sehingga pengelola hendaknya membuka akses yang setara bagi semua, termasuk mereka yang mengidap autisme. Wajah Dunya Mugijanto mendadak pias. Kabid Humas Masyarakat Peduli Autis Indonesia (MPATI) itu kehilangan putranya, Rayen, 12 saat mereka berkunjung ke pasar ikan di Australia, tahun lalu. Ketika itu, ia meninggalkan putra semata wayangnya bersama ayahnya dalam beberapa menit.
Ia mencoba memanggil Rayen, sementara suaminya mengontak petugas keamanan. Ia berjalan hilir mudik tidak jauh dari toko ikan tempat putranya menghilang karena khawatir putranya akan kembali ke tempat tersebut. Saat kepanikan mulai menguasai dirinya, para pengunjung toko lainnya memberikan simpatinya.
“Mereka bertanya ada apa? Saya bilang anak saya hilang. Lalu, mereka tanya ciri-ciri Rayen seperti apa. Saya bilang kalau anak saya autisme. Mereka langsung paham dan bertanya apakah anak saya bisa bicara normal atau tidak,“ tutur Dunya kepada Media Indonesia di Jakarta, Rabu (22/10).
Petugas keamanan seketika menutup gerbang masuk dan keluar pasar. Adapun, pengunjung lainnya ikut berusaha mencari anak dengan ciri-ciri fisik mirip Rayen. Tujuh menit kemudian, Dunya tak sengaja melihat anaknya sedang duduk di dalam restoran siap saji yang berada di seberang toko ikan tempat dia berada terakhir kali.
“Mungkin saat itu dia lapar. Saya memang biasa mengajak dia makan di restoran siap saji. Ketika masuk, saya biasa minta dia untuk duduk menunggu saat saya memesan kentang goreng kesukaannya. Jadi, ingatan itu yang tersimpan di memorinya. Kalau lapar, duduk di restoran siap saji,“ terangnya. Sosialisasi di mal Pengalaman tersebut membuatnya sadar bahwa keberadaan lingkungan yang memahami kondisi anak autisme sangat penting untuk membantu mereka menikmati akses publik yang setara. Sayangnya, ia menilai belum banyak pusat perbelanjaan di Indonesia yang memahami cara menghadapi pengidap autisme. Ketika ada anak autisme yang bertingkah aneh, banyak yang mengecapnya sebagai anak nakal atau bahkan gila.
Padahal, perbedaan sikap yang ditampilkan pengidap autisme itu merupakan refleksi gangguan perkembangan yang dialami mereka.
Untuk itu, ia dan komunitas MPATI berinisiatif melakukan advokasi mengenai autisme dan cara menanganinya kepada pengelola pusat perbelanjaan. Alasan memilih pengelola pusat perbelanjaan sebagai target advokasi awal semata karena mal hampir selalu menjadi destinasi bagi para keluarga di waktu libur. Di sisi lain, pengetahuan pengelola mal mengenai autisme dan cara penanganannya ini masih minim. Kesalahpahaman akibat kurangnya pengetahuan justru membuat masalah dengan anak autisme semakin membesar.
“Urusan toilet, misalnya. Tidak semua mal menempatkan toilet untuk kaum difabel itu di luar toilet untuk orang normal. Kalau anak saya laki-laki yang sudah besar, kan tidak mungkin saya masukkan ke toilet perempuan. Jadi, mau tidak mau saya harus minta bantuan dari penjaga toilet untuk membantu anak saya atau minta maaf kalau tiba-tiba dia buang air sembarangan,“ jelasnya.
Hingga kini, ada delapan pengelola mal yang diberikan sosialisasi mengenai autisme meliputi Senayan City, Plaza Senaya, Cilandak Town Square, Cibubur Junction, Mal Artha Gading, Gandaria City, dan Moro Mal Purwokerto.
Pelatihan tersebut melibatkan para resepsionis, petugas keamanan dan penjaga toilet karena mereka yang biasanya berhubungan langsung dengan pelayanan pelanggan. Selain pengetahuan dasar soal autisme, mereka juga diberikan kiat bagaimana menghadapi pengidap autisme. “Kalau hilang misalnya, pengidap autisme itu biasanya mencari tempat yang tenang karena merasa lebih aman. Jadi, kita meminta agar mereka mencari di tempat-tempat tersembunyi, seperti kamar ganti, toilet atau bahkan baby changing room,“ paparnya. Peningkatan layanan Sebagai salah satu mitra, Chief Executive Officer Senayan City Veri Y Setiady menyatakan bahwa sosialiasi mengenai autisme di pusat perbelanjaan bernilai strategis untuk meningkatkan layanan mal bagi para pengunjung.
Mereka yang diberi pelatihan tentu akan lebih terampil menghadapi beragam karakter pengunjung yang datang. Semakin nyaman pengunjung di dalam pusat perbelanjaan, diharapkan, berdampak positif bagi pendapatan mal. Sebagai tindak lanjut, pihaknya menyusun prosedur operasi standar mengenai cara penanganan anak autisme setelah pelatihan diberikan. Salah satunya adalah bagaimana mengalihkan perhatian massa yang biasanya memandangi keriuhan akibat polah tak biasa anak autisme. Dengan mengalihkan perhatian, anak autisme diharapkan menjadi lebih tenang dan tidak trauma dengan keramaian ataupun pusat perbelanjaan.
“Sejauh ini memang belum ada pengalaman menangani anak autisme. Yang pasti dari kita menginginkan agar semua merasa diperlakukan sama, tidak ada pengecualian. Bahkan, kita juga ikut menyosialisasikannya dengan pameran foto,“ ujar Veri. (S-1) Media Indonesia, 31/10/2014, halaman 24
Ia mencoba memanggil Rayen, sementara suaminya mengontak petugas keamanan. Ia berjalan hilir mudik tidak jauh dari toko ikan tempat putranya menghilang karena khawatir putranya akan kembali ke tempat tersebut. Saat kepanikan mulai menguasai dirinya, para pengunjung toko lainnya memberikan simpatinya.
“Mereka bertanya ada apa? Saya bilang anak saya hilang. Lalu, mereka tanya ciri-ciri Rayen seperti apa. Saya bilang kalau anak saya autisme. Mereka langsung paham dan bertanya apakah anak saya bisa bicara normal atau tidak,“ tutur Dunya kepada Media Indonesia di Jakarta, Rabu (22/10).
Petugas keamanan seketika menutup gerbang masuk dan keluar pasar. Adapun, pengunjung lainnya ikut berusaha mencari anak dengan ciri-ciri fisik mirip Rayen. Tujuh menit kemudian, Dunya tak sengaja melihat anaknya sedang duduk di dalam restoran siap saji yang berada di seberang toko ikan tempat dia berada terakhir kali.
“Mungkin saat itu dia lapar. Saya memang biasa mengajak dia makan di restoran siap saji. Ketika masuk, saya biasa minta dia untuk duduk menunggu saat saya memesan kentang goreng kesukaannya. Jadi, ingatan itu yang tersimpan di memorinya. Kalau lapar, duduk di restoran siap saji,“ terangnya. Sosialisasi di mal Pengalaman tersebut membuatnya sadar bahwa keberadaan lingkungan yang memahami kondisi anak autisme sangat penting untuk membantu mereka menikmati akses publik yang setara. Sayangnya, ia menilai belum banyak pusat perbelanjaan di Indonesia yang memahami cara menghadapi pengidap autisme. Ketika ada anak autisme yang bertingkah aneh, banyak yang mengecapnya sebagai anak nakal atau bahkan gila.
Padahal, perbedaan sikap yang ditampilkan pengidap autisme itu merupakan refleksi gangguan perkembangan yang dialami mereka.
Untuk itu, ia dan komunitas MPATI berinisiatif melakukan advokasi mengenai autisme dan cara menanganinya kepada pengelola pusat perbelanjaan. Alasan memilih pengelola pusat perbelanjaan sebagai target advokasi awal semata karena mal hampir selalu menjadi destinasi bagi para keluarga di waktu libur. Di sisi lain, pengetahuan pengelola mal mengenai autisme dan cara penanganannya ini masih minim. Kesalahpahaman akibat kurangnya pengetahuan justru membuat masalah dengan anak autisme semakin membesar.
“Urusan toilet, misalnya. Tidak semua mal menempatkan toilet untuk kaum difabel itu di luar toilet untuk orang normal. Kalau anak saya laki-laki yang sudah besar, kan tidak mungkin saya masukkan ke toilet perempuan. Jadi, mau tidak mau saya harus minta bantuan dari penjaga toilet untuk membantu anak saya atau minta maaf kalau tiba-tiba dia buang air sembarangan,“ jelasnya.
Hingga kini, ada delapan pengelola mal yang diberikan sosialisasi mengenai autisme meliputi Senayan City, Plaza Senaya, Cilandak Town Square, Cibubur Junction, Mal Artha Gading, Gandaria City, dan Moro Mal Purwokerto.
Pelatihan tersebut melibatkan para resepsionis, petugas keamanan dan penjaga toilet karena mereka yang biasanya berhubungan langsung dengan pelayanan pelanggan. Selain pengetahuan dasar soal autisme, mereka juga diberikan kiat bagaimana menghadapi pengidap autisme. “Kalau hilang misalnya, pengidap autisme itu biasanya mencari tempat yang tenang karena merasa lebih aman. Jadi, kita meminta agar mereka mencari di tempat-tempat tersembunyi, seperti kamar ganti, toilet atau bahkan baby changing room,“ paparnya. Peningkatan layanan Sebagai salah satu mitra, Chief Executive Officer Senayan City Veri Y Setiady menyatakan bahwa sosialiasi mengenai autisme di pusat perbelanjaan bernilai strategis untuk meningkatkan layanan mal bagi para pengunjung.
Mereka yang diberi pelatihan tentu akan lebih terampil menghadapi beragam karakter pengunjung yang datang. Semakin nyaman pengunjung di dalam pusat perbelanjaan, diharapkan, berdampak positif bagi pendapatan mal. Sebagai tindak lanjut, pihaknya menyusun prosedur operasi standar mengenai cara penanganan anak autisme setelah pelatihan diberikan. Salah satunya adalah bagaimana mengalihkan perhatian massa yang biasanya memandangi keriuhan akibat polah tak biasa anak autisme. Dengan mengalihkan perhatian, anak autisme diharapkan menjadi lebih tenang dan tidak trauma dengan keramaian ataupun pusat perbelanjaan.
“Sejauh ini memang belum ada pengalaman menangani anak autisme. Yang pasti dari kita menginginkan agar semua merasa diperlakukan sama, tidak ada pengecualian. Bahkan, kita juga ikut menyosialisasikannya dengan pameran foto,“ ujar Veri. (S-1) Media Indonesia, 31/10/2014, halaman 24
Tidak ada komentar:
Posting Komentar