BEKERJA dengan perasaan kerap dijadikan senjata untuk menolak kepemimpinan perempuan. Ada juga yang beranggapan perempuan akan berlaku superior ketika mendapat jabatan tinggi.
Dua prasangka itu ditolak Menteri Sosial Kabinet Kerja Khofifah Indar Parawansa dan anggota DPR serta Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia serta Badan Promosi Pariwisata Indonesia Wuryanti Sukamdani. Yanti menegaskan, ketika berbicara tentang kepemimpinan, yang disejajarkan ialah kompetensi, pengetahuan, dan keahlian, bukan dari segi kodrat.
Meski demikian, Yanti tidak menampik ada perempuan yang melupakan kodratnya dan bertindak superior karena sudah memiliki jabatan dan penghasilan melebihi suami. “Itu tergantung individunya sih. Akan tetapi, kalau saya selalu menekankan mau dapat jabatan setinggi apa pun jangan lupa kodrat kita sebagai perempuan. Punya tanggung jawab untuk mengurus keluarga. Ibu itu kan berperan sebagai manajer rumah tangga,“ ungkap Yanti.
Ia lantas mencontohkan salah satu tokoh perempuan dunia, Margaret Thatcher, yang selalu menyempatkan diri untuk menyiapkan sarapan bagi suami. “Emansipasi lebih kepada keahlian, kesempatan mengenyam pendidikan, dan memimpin. Kalau kodrat ya tidak bisa, mana ada perempuan tega melihat anaknya keleleran, ini bahasa Jawa, Mbak,“ imbuhnya.
Pengalaman unik Terkait dengan kepemimpinan, Khofifah pernah memiliki pengalaman unik dengan almarhum suaminya. Saat menikah, Khofifah sudah menjadi bagian dari keanggotaan DPR RI. Karena itu, ia mendapat jatah rumah dinas dari lembaga perwakilan rakyat tersebut. Seluruh administrasi yang berkaitan dengan kartu keluarga hingga kartu tanda penduduk diurus oleh pengelola Wisma DPR.
Begitu selesai, sang suami kaget karena di kartu keluarga yang tertera sebagai kepala keluarga adalah istri.Ia pun tidak terima dan melantunkan komplain. Dengan hati-hati, Khofifah pun menjelaskan bahwa rumah yang ditempati itu beridentitas. Siapa yang mendapat hak dari negara, nama itulah yang menjadi identitas rumah.
“Saya tegaskan, cap kepala keluarga yang tertera tidak berkaitan dengan konstitusi keluarga. Artinya, tetap suami yang menjadi kepala keluarga.Kartu yang diberikan pengelola itu bagian dari identitas rumah saja.
Almarhum suami saya orang Makassar, meski komunikasi kita tidak masalah, belum tentu lingkungan sekitar bisa menerima,“ paparnya. Hubungan dinamis Khofifah meyakini hubungan yang dibangun antara suami dan istri adalah hubungan kuasa. Siapa yang memiliki status ekonomi dan sosial yang tinggi, dialah yang lebih kuat.Namun, Khofifah mengedepankan hubungannya dengan konsep keseimbangan dinamis sehingga tercipta hubungan yang harmonis.
Mengenai keterlibatan emosi pada perempuan ketika bekerja, hal itu diyakini Khofifah justru dapat menjadi penguat. Tidak semata hanya menggunakan pendekatan rasional semata, hati pun ikut dilibatkan.“Kalau tidak ada rasa yang hidup, saat memberi bantuan pada mereka yang kurang mampu rasanya seperti orang yang berjasa. Padahal kan itu kewajiban. Tidak akan melemahkan kok, sisi emosional atau sentimentil itu perlu asal dikelola dengan baik sehingga jadi penguat aktivitas,“ ujarnya. (Wnd/M-3) Media Indonesia, 16/11/2014, halaman 22
Dua prasangka itu ditolak Menteri Sosial Kabinet Kerja Khofifah Indar Parawansa dan anggota DPR serta Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia serta Badan Promosi Pariwisata Indonesia Wuryanti Sukamdani. Yanti menegaskan, ketika berbicara tentang kepemimpinan, yang disejajarkan ialah kompetensi, pengetahuan, dan keahlian, bukan dari segi kodrat.
Meski demikian, Yanti tidak menampik ada perempuan yang melupakan kodratnya dan bertindak superior karena sudah memiliki jabatan dan penghasilan melebihi suami. “Itu tergantung individunya sih. Akan tetapi, kalau saya selalu menekankan mau dapat jabatan setinggi apa pun jangan lupa kodrat kita sebagai perempuan. Punya tanggung jawab untuk mengurus keluarga. Ibu itu kan berperan sebagai manajer rumah tangga,“ ungkap Yanti.
Ia lantas mencontohkan salah satu tokoh perempuan dunia, Margaret Thatcher, yang selalu menyempatkan diri untuk menyiapkan sarapan bagi suami. “Emansipasi lebih kepada keahlian, kesempatan mengenyam pendidikan, dan memimpin. Kalau kodrat ya tidak bisa, mana ada perempuan tega melihat anaknya keleleran, ini bahasa Jawa, Mbak,“ imbuhnya.
Pengalaman unik Terkait dengan kepemimpinan, Khofifah pernah memiliki pengalaman unik dengan almarhum suaminya. Saat menikah, Khofifah sudah menjadi bagian dari keanggotaan DPR RI. Karena itu, ia mendapat jatah rumah dinas dari lembaga perwakilan rakyat tersebut. Seluruh administrasi yang berkaitan dengan kartu keluarga hingga kartu tanda penduduk diurus oleh pengelola Wisma DPR.
Begitu selesai, sang suami kaget karena di kartu keluarga yang tertera sebagai kepala keluarga adalah istri.Ia pun tidak terima dan melantunkan komplain. Dengan hati-hati, Khofifah pun menjelaskan bahwa rumah yang ditempati itu beridentitas. Siapa yang mendapat hak dari negara, nama itulah yang menjadi identitas rumah.
“Saya tegaskan, cap kepala keluarga yang tertera tidak berkaitan dengan konstitusi keluarga. Artinya, tetap suami yang menjadi kepala keluarga.Kartu yang diberikan pengelola itu bagian dari identitas rumah saja.
Almarhum suami saya orang Makassar, meski komunikasi kita tidak masalah, belum tentu lingkungan sekitar bisa menerima,“ paparnya. Hubungan dinamis Khofifah meyakini hubungan yang dibangun antara suami dan istri adalah hubungan kuasa. Siapa yang memiliki status ekonomi dan sosial yang tinggi, dialah yang lebih kuat.Namun, Khofifah mengedepankan hubungannya dengan konsep keseimbangan dinamis sehingga tercipta hubungan yang harmonis.
Mengenai keterlibatan emosi pada perempuan ketika bekerja, hal itu diyakini Khofifah justru dapat menjadi penguat. Tidak semata hanya menggunakan pendekatan rasional semata, hati pun ikut dilibatkan.“Kalau tidak ada rasa yang hidup, saat memberi bantuan pada mereka yang kurang mampu rasanya seperti orang yang berjasa. Padahal kan itu kewajiban. Tidak akan melemahkan kok, sisi emosional atau sentimentil itu perlu asal dikelola dengan baik sehingga jadi penguat aktivitas,“ ujarnya. (Wnd/M-3) Media Indonesia, 16/11/2014, halaman 22
Tidak ada komentar:
Posting Komentar